Minggu, 07 Juni 2015

PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI DAN SURAT EDARAN MAHKAMAH AGUNG TENTANG ATURAN MENGENAI PENINJAUAN KEMBALI (PK)

PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI
DAN SURAT EDARAN MAHKAMAH AGUNG
TENTANG ATURAN MENGENAI PENINJAUAN KEMBALI


BAB I
PENDAHULUAN

A.                LATAR BELAKANG
Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Bab XVIII bagian kedua dalam UU Nomor 8 Tahun 1981, Peninjauan Kembali merupakan salah satu upaya hukum luar biasa dalam sistem peradilan di Indonesia. Peninjauan Kembali atau disingkat PK adalah suatu upaya hukum yang dapat ditempuh oleh terpidana (orang yang dikenai hukuman) dalam suatu kasus hukum terhadap suatu putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap dalam sistem peradilan di  Indonesia.  Putusan pengadilan yang disebut mempunyai kekuatan hukum tetap ialah putusan Pengadilan Negeri yang tidak diajukan upaya banding, putusan Pengadilan Tinggi yang tidak diajukan kasasi (upaya hukum di tingkat Mahkamah Agung), atau putusan kasasi Mahkamah Agung (MA). PK tidak dapat ditempuh terhadap putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap apabila putusan itu berupa putusan yang menyatakan terdakwa (orang yang dituntut dalam persidangan) bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum.
Upaya hukum luar biasa merupakan pengecualian dari upaya hukum biasa yaitu persidangan pada Pengadilan Negeri, sidang banding pada Pengadilan Tinggi, dan kasasi pada Mahkamah Agung. Dalam upaya hukum biasa, kasasi Mahkamah Agung merupakan upaya terakhir yang dapat ditempuh untuk mendapatkan keadilan bagi para pihak yang terlibat dalam suatu perkara. Putusan kasasi Mahkamah Agung bersifat akhir, mengikat, dan berkekuatan hukum tetap. PK dapat diajukan terhadap putusan kasasi Mahkamah Agung apabila pada putusan sebelumnya diketahui terdapat kesalahan atau kekhilafan hakim dalam memutus perkara ataupun terdapat bukti baru yang belum pernah diungkapkan dalam persidangan.

Didalam UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dijelaskan tentang peninjauan kembali (PK) yang tertuang pada pasal 263 sampai dengan pasal 269. Dalam pasal-pasal tersebut secara umum mengatur tentang peninjaun kembali (PK), salah satu aturan tersebut terdapat pada pasal 268 ayat (3) berbunyi “permintaan peninjauan kembali atas suatu putusan hanya dapat dilakukan satu kali saja”. Polemik terjadi ketika Mahkamah Konstitusi mengeluarkan keputusan Nomor 34/PUU-XI/2013 yang didalam amar putusannya berisi bahwa pasal 268 ayat (3) UU no 8 tahun 1981 bertentangan dengan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Sedangkan di sisi lain Mahkamah Agung, pada tanggal 31 Desember 2014 mengeluarkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) RI Nomor 7 Tahun 2014 tentang Pengajuan Permohonan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, SEMA ini dalam poin nomor 3, mempertegas kembali aturan mengenai pengajuan permohonan peninjauan kembali (PK) dalam perkara pidana yang hanya dapat dilakukan 1 (satu) kali. Menurut poin nomor 4, PK dapat dilakukan lebih dari 1 (satu) kali hanya dengan alasan apabila terhadap suatu objek yang sama, terdapat 2 (dua) putusan PK yang bertentangan, sesuai dengan SEMA RI Nomor 10 Tahun 2009 tentang Pengajuan Permohonan Peninjauan Kembali. Dalam pertimbangan poin nomor 1 dan 2 SEMA 7/2014 dinyatakan bahwa MK hanya menghapus ketentuan PK dalam pasal 268 (3) KUHAP, dan tidak menghapus ketentuan PK di dalam Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dan Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 jo. Undang-undang Nomor 5 Tahun 2004 jo. Undang-undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung.

B.        RUMUSAN MASALAH
            Berdasarkan latar belakang diatas, maka rumusan masalah dalam makalah ini adalah Bagaimanakah Peninjauan Kembali (PK) sebagai upaya hukum luar biasa dipandang dari keputusan Mahkamah Konstitusi nomor 34/PUU-XI/2013 dan Surat Edaran mahkamah Agung Nomor 7 tahun 2014.



BAB II
PEMBAHASAN


A.        PUTUSAN MAHKAMAH KONTITUSI TENTANG PENINJAUAN KEMBALI (PK)
Mahkamah Konstitusi (MK) pada tanggal 6 Maret 2014 mengeluarkan Keputusan Nomor 34/PUU-XI/2013. Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa Pasal 268 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana atau yang biasa disebut dengan KUHAP, bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 karena membatasi Peninjauan Kembali oleh terdakwa hanya sekali. Dengan alasan keadilan, Mahkamah Konstitusi membatalkan pasal tersebut, yang merugikan kedudukan Pemohon yang dalam hal ini ialah Antasari Azhar, Ida Laksmiwaty dan Ajeng oktarifka Antasariputri. Putusan Mahkamah Konstitusi ini membuka jalan bagi ketiga pemohon untuk melakukan Peninjauan Kembali atas putusan Peninjauan Kembali dari Mahkamah Agung. Pengajuan uji materil ke Mahkamah Konstitusi dilakukan pada tanggal 25 April 2013. Dengan hanya diijinkan sekali mengajukan Peninjauan Kembali, maka menjadi rintangan bagi para pemohon untuk mengajukan lagi Peninjauan Kembali terkait kasus yang menimpanya. Menurut pemohon pada waktu itu, ia sudah mempunyai bukti baru dan kuat.
Putusan ini menyiratkan bahwa Peninjauan Kembali dapat diajukan lebih dari sekali sepanjang memenuhi syarat yang ditentukan Pasal 268 ayat (2) KUHAP. Berikut kutipan Putusan Mahkamah Konstitusi bernomor 34/PUU-XI/2013:“Mengabulkan permohonan pemohon untuk seluruhnya. Pasal 268 ayat (3) KUHAP bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.” pada dasarnya, pemohon dalam perkara ini hanya meminta diperbolehkannya PK diajukan lebih dari 1 kali, hanya untuk alasan yang ada dalam Pasal 263 ayat (2) huruf a KUHAP, yaitu terdapat keadaan baru (novum). Namun, MK ternyata menghapuskan pasal 268 ayat (3) KUHAP secara keseluruhan, sehingga bukan hanya terkait novum yang dapat diajukan PK lebih dari satu kali, namun juga 2 syarat lain, yang diatur dalam Pasal 263 ayat (2) huruf b dan c KUHAP, yaitu terdapat pernyataan bahwa sesuatu telah terbukti, akan tetapi hal atau keadaan sebagai dasar dan alasan putusan yang dinyatakan telah terbukti itu, ternyata telah bertentangan satu dengan yang lain; dan apabila putusan itu dengan jelas memperlihatkan suatu kekhiIafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata (Pasal 263 ayat (2) KUHAP). Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa upaya hukum luar biasa Peninjauan Kembali secara historis dan filosofis merupakan upaya hukum yang lahir demi melindungi kepentingan terpidana. Hal itu berbeda dengan upaya hukum biasa yang berupa banding atau kasasi yang harus dikaitkan dengan prinsip kepastian hukum. Sebab, jika tidak adanya limitasi waktu pengajuan upaya hukum biasa itu, maka akan menimbulkan ketidakpastian hukum yang melahirkan ketidakadilan karena proses hukum tidak selesai.

ASAS KEADILAN
Menurut Mahkamah Konstitusi, dalam ilmu hukum terdapat asas litis finiri oportet, yang berarti bahwa setiap perkara harus ada akhirnya. Namun asas itu terkait dengan kepastian hukum, sedangkan dalam hal keadilan dalam perkara pidana, asas itu tidak secara kaku dapat diterapkan karena dengan hanya membolehkan Peninjauan Kembali hanya satu kali, terlebih, manakala ditemukan adanya keadaan baru (novum), maka hal itu justru bertentangan dengan asas keadilan yang begitu dijunjung tinggi oleh kekuasaan kehakiman Indonesia. Hal ini sebagaimana terdapat dalam konstitusi, yaitu untuk menegakkan hukum dan keadilan (Pasal 24 ayat (1) UUD 1945). Hal ini juga sebagai konsekuensi dari asas negara hukum.
Selain itu, alasan lain Mahkamah Konstitusi ialah upaya hukum luar biasa bertujuan untuk menemukan keadilan dan kebenaran materil. Keadilan tidak dapat dibatasi oleh waktu atau ketentuan formalitas yang membatasi upaya hukum luar biasa Peninjauan Kembali, yang di dalam KUHAP, hanya dapat diajukan satu kali. Mungkin saja setelah diajukannya Peninjauan Kembali dan diputus, ada keadaan baru (novum) yang substansial, yang baru ditemukan saat Peninjauan Kembali sebelumnya belum ditemukan, sehingga dapat dipandang bahwa alasan upaya hukum luar biasa atau PK adalah untuk menciptakan keadilan, PK dibutuhkan untuk mencegah kesesatan dalam peradilan.

B.        SURAT EDARAN MAHKAMAH AGUNG (SEMA) TENTANG PENINJAUAN KEMBALI (PK)
Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 7 Tahun 2014 tentang Pengajuan Permohonan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana pada dasarnya lahir sebagai tanggapan atas putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 34/PUU-XI/2013 tanggal 6 Maret 2014, yang menyatakan ketentuan pasal 268 ayat (3) KUHAP (yang mengatur tentang PK hanya dapat dilakukan 1 kali) bertentangan dengan UUD NRI 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, sehingga dengan putusan MK ini, PK dalam perkara pidana dapat dilakukan lebih dari 1 (satu) kali, tanpa batasan. Dalam pertimbangan poin nomor 1 dan 2 SEMA 7/2014 dinyatakan bahwa MK hanya menghapus ketentuan PK dalam pasal 268 (3) KUHAP, dan tidak menghapus ketentuan PK di dalam Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dan Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 jo. Undang-undang Nomor 5 Tahun 2004 jo. Undang-undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung. Sehinggah dapat dikatakan bahwa keputusan MK tersebut tidak membatalkan ketentuan PK yang berada pada UU MA dan UU Kekuasaan Kehakiman tetapi hanya mengatur PK pada perkara pidana yang diatur dalam KUHP. Perlu diingat bahwa SEMA diterbitkan sebagai panduan bagi para hakim dalam mempertimbangkan dan memutus. Selanjutnya terserah hakim tingkat pertama (pengadilan negeri) yang akan memutus apakah akan diteruskan atau tidak (PK-nya) ke MA serta hakim agung yang akan memutuskan demi keadilan dan kepastian hukum dalam masyarakat.

ASAS KEPASTIAN HUKUM
Dari penjelasan diatas kita dapat berpandangan bahwa tujuan dari dikeluarkan SEMA tersebut adalah untuk memberikan kepastian hukum terhadap suatu proses peradilan, khusunya peradilan pidana. Lambatnya eksekusi terhadap para terdakwa juga menjadi salah satu hal yang melatarbelakangi terbitnya SEMA tersebut. Tetapi dapat terjadi polemik untuk mempertanyakan letak kepastian hukumnya karena dalam teorinya vonis pada tingkat kasasi telah memberikan kepastian hukum. Karena itu, seharusnya eksekusi bisa dilaksanakan, walaupun ada ketentuan PK bisa diajukan berkali-kali. Dalam Pasal 268 ayat (1) KUHAP, dinyatakan bahwa “Permintaan peninjauan kembali atas suatu putusan tidak menangguhkan maupun menghentikan pelaksanaan dari putusan tersebut”. Dari aturan ini terlih, bahwa pengajuan PK tidak dapat menunda eksekusi putusan pidana. Sehingga, pendapat yang menyatakan bahwa PK berulang dapat menimbulkan ketidakpastian hukum dapat dikatakan tidak benar, karena seperti ketentuan di atas, PK sendiri tidak menangguhkan atau menghentikan pelaksanaan putusan yang dijatuhkan, sehingga hal tersebut adalah suatu bentuk kepastian hukum sendiri.



C.        KEDUDUKAN PUTUSAN MK DAN SURAT EDARAN MAHMAKAH AGUNG
Perlu dipahami bahwa putusan MK pada dasarnya bukanlah peraturan perundang-undangan. Namun, sifat dari putusan MK adalah mengubah undang-undang, jelas diterangkan hierarki peratutan perundang undangan dalam Pasal 7 ayat (1) angka 3 UU 12/2011. Apabila ada putusan MK yang membatalkan suatu pasal, atau kata, atau frasa, dalam satu undang-undang, atau satu undang-undang tersebut dibatalkan, maka dengan sendirinya putusan MK tersebut mengubah undang-undang tersebut. Dalam pasal 10 ayat (1) huruf a UU no 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Kontitusi disebutkan Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”
Sedangkan disisi lain, Jelas dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Dalam Pasal 8 ayat (1) dan (2), pada intinya, menyatakan bahwa peraturan yang salah satunya dikeluarkan oleh Mahkamah Agung diakui keberadaannya dan memiliki hukum mengikat selama diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan. Apabila kita melihat kepada pasal 79 UU 14/1985 jo. UU 5/2004 jo. UU 3/2009 tentang Mahkamah Agung, maka disebutkan bahwa: “Mahkamah Agung dapat mengatur lebih lanjut hal-hal yang diperlukan bagi kelancaran penyelenggaraan peradilan apabila terdapat hal-hal yang belum cukup diatur dalam Undang-undang ini” dimana penjelasannya berbunyi: “Apabila dalam jalannya peradilan terdapat kekurangan atau kekosongan hukum dalam suatu hal, Mahkamah Agung berwenang membuat peraturan sebagai pelengkap untuk mengisi kekurangan atau kekosongan tadi. Dengan Undang-undang ini Mahkamah Agung berwenang menentukan pengaturan tentang cara penyelesaian suatu soal yang belum atau tidak diatur dalam Undang-undang ini”. Dalam hal ini peraturan yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung dibedakan dengan peraturan yang disusun oleh pembentuk Undang-undang. Penyelenggaraan peradilan yang dimaksudkan Undang-undang ini hanya merupakan bagian dari hukum acara secara keseluruhan. Dengan demikian Mahkamah Agung tidak akan mencampuri dan melampaui pengaturan tentang hak dan kewajiban warga negara pada umumnya dan tidak pula mengatur sifat, kekuatan, alat pembuktian serta penilaiannya atau- pun pembagian beban pembuktian.

Hubungan antara Undang-Undang dan SEMA sebenarnya tidak dijelaskan hierarki nya, karena dalam pasal 7 ayat (1) UU 12 tahun 2011 hanya memasukkan UUD NRI 1945, Tap MPR, UU/Perppu, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Pemerintah Daerah Provinsi, dan Peraturan Pemerintah Kabupaten/Kota dalam hierarki nya, sedangkan SEMA dan peraturan lainnya seperti yang diterbitkan BI, BPK, dan lain sebagainya, disebut diakui keberadaannya dan mengikat dengan syarat seperti yang telah dijelaskan di atas, tanpa dijelaskan hierarki nya dimana. Namun, dalam praktik ketatanegaraan SEMA dan peraturan-peraturan lainnya tersebut secara hierarki diletakkan dibawah UUD NRI 1945, Tap MPR, UU/Perppu, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Pemerintah Daerah Provinsi, dan Peraturan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota. Sehingga, berdasarkan hal-hal ini dapat dikatakan bahwa aturan dalam putusan MK, secara sifat, lebih tinggi dari SEMA yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung. Dalam ilmu perundang-undangan, dikenal sebuah teori yang dikenalkan oleh Hans Kelsen, yang disebut sebagai Stufenbau Theory, yang artinya bahwa suatu peraturan perundang-undangan yang secara hierarkis dibawah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang secara hierarkis berada di atasnya. Dengan bekaca kepada teori ini, dan melihat secara sifat bahwa SEMA, secara hierarkis berada dibawah undang-undang yang diubah dengan putusan MK, maka sangat jelas bahwa, pada dasarnya, SEMA tidak boleh bertentangan dengan undnag-undang, yang telah diubah dengan putusan MK, atau dengan kata lain, SEMA tidak boleh bertentangan dengan putusan MK.



BAB III
PENUTUP

A.        KESIMPULAN
Keributan mengenai putusan MK dan Surat edaran MA tentang pengajuan PK dalam perkara pidana, menunjukkan bahwa adanya ketidaksamaan pandangan dari lembaga hukum di Indoensia, yang dalam hal ini adalah MA dan MK, dalam menanggapi suatu permasalahan hukum yang ada, terutama tentang pengaturan pengajuan PK dalam perkara pidana. Hal ini amat sangat disayangkan terjadi, terlebih keributan ini melibatkan 2 institusi penegak hukum berwibawa, seperti Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi.
Didasari karena sering kali orang mengaitkan antara keadilan dengan kepastian hukum. Dua hal itu di dalam hukum pidana memang sering sekali bertentangan. Hakim dalam memutus sebuah perkara pidana kadang lebih mempertimbangkan kepastian hukum, tetapi juga, kadang pertimbanganya lebih pada keadilan hukum. KUHAP sendiri bertujuan untuk melindungi hak asasi manusia dari kesewenang-wenangan negara terkait dengan hak hidup dan kebebasan sebagai hak fundamental. Hak tersebut dijamin dalam konstitusi sebagaimana tersebut di dalam Pasal 28I ayat (4) dan Pasal 24 ayat (1) UUD 1945. Oleh karenanya, Peninjauan Kembali sebagai upaya hukum luar biasa yang diatur dalam KUHAP harus lah dalam kerangka yang demikian, yakni untuk menegakkan hukum dan keadilan. Mahkamah Konstitusi menegaskan bahwa upaya pencapaian kepastian hukum sangat layak dibatasi. Namun tidak demikian dengan upaya pencapaian keadilan. Sebab keadilan kebutuhan manusia yang sangat mendasar dan lebih mendasar daripada kepastian hukum. “Kebenaran materil mengandung semangat keadilan, tetapi norma hukum acara mengandung sifat kepastian hukum yang terkadang mengabaikan asas keadilan.”
Hendaknya kedepan, para penegak hukum di Indonesia memiliki pandangan yang sama mengenai suatu permasalahan hukum, sehingga tidak ada lagi perbedaan pendapat antara satu institusi hukum dengan institusi hukum lainnya, dan kesatuan hukum akan tercapai. Sebaiknya perumusan keputusan-keputusan hukum harus diputuskan secara visioner dengan logika yang tepat, sehingga keputusan tersebut tidak hanya berguna untuk saat ini, tapi juga berguna untuk di masa yang akan datang, dan terutama, tidak menimbulkan masalah di masa yang akan datang.