PUTUSAN MAHKAMAH
KONSTITUSI
DAN SURAT EDARAN MAHKAMAH
AGUNG
TENTANG ATURAN MENGENAI PENINJAUAN
KEMBALI
BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana (KUHAP) Bab XVIII bagian kedua dalam UU Nomor 8 Tahun 1981, Peninjauan Kembali merupakan salah
satu upaya hukum luar biasa dalam sistem peradilan di Indonesia. Peninjauan Kembali atau
disingkat PK adalah suatu
upaya hukum yang dapat ditempuh oleh terpidana (orang yang dikenai hukuman) dalam
suatu kasus hukum terhadap
suatu putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap
dalam sistem peradilan di
Indonesia. Putusan pengadilan yang disebut
mempunyai kekuatan hukum tetap ialah putusan Pengadilan Negeri
yang tidak diajukan upaya banding,
putusan Pengadilan Tinggi yang tidak diajukan kasasi (upaya hukum di tingkat Mahkamah Agung),
atau putusan kasasi Mahkamah Agung
(MA). PK tidak dapat ditempuh
terhadap putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap apabila putusan
itu berupa putusan yang menyatakan terdakwa (orang yang dituntut dalam
persidangan) bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum.
Upaya hukum luar biasa merupakan pengecualian dari upaya
hukum biasa yaitu persidangan pada Pengadilan Negeri, sidang banding pada Pengadilan Tinggi,
dan kasasi pada Mahkamah Agung. Dalam upaya hukum biasa, kasasi Mahkamah Agung
merupakan upaya terakhir yang dapat ditempuh untuk mendapatkan keadilan bagi para pihak yang terlibat dalam
suatu perkara. Putusan kasasi Mahkamah Agung bersifat akhir, mengikat, dan
berkekuatan hukum tetap. PK dapat
diajukan terhadap putusan kasasi Mahkamah Agung apabila pada putusan sebelumnya
diketahui terdapat kesalahan atau kekhilafan hakim dalam memutus perkara ataupun terdapat
bukti baru yang belum pernah diungkapkan dalam persidangan.
Didalam UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana (KUHAP) dijelaskan tentang peninjauan kembali (PK) yang tertuang pada
pasal 263 sampai dengan pasal 269. Dalam pasal-pasal tersebut secara umum
mengatur tentang peninjaun kembali (PK), salah satu aturan tersebut terdapat
pada pasal 268 ayat (3) berbunyi “permintaan
peninjauan kembali atas suatu putusan hanya dapat dilakukan satu kali saja”. Polemik
terjadi ketika Mahkamah Konstitusi mengeluarkan keputusan Nomor 34/PUU-XI/2013
yang didalam amar putusannya berisi bahwa pasal 268 ayat (3) UU no 8 tahun 1981
bertentangan dengan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Sedangkan di sisi lain Mahkamah
Agung, pada tanggal 31 Desember 2014 mengeluarkan Surat Edaran Mahkamah Agung
(SEMA) RI Nomor 7 Tahun 2014 tentang Pengajuan Permohonan Peninjauan Kembali
Dalam Perkara Pidana, SEMA ini dalam poin nomor 3, mempertegas kembali aturan
mengenai pengajuan permohonan peninjauan kembali (PK) dalam perkara pidana yang
hanya dapat dilakukan 1 (satu) kali. Menurut poin nomor 4, PK dapat dilakukan
lebih dari 1 (satu) kali hanya dengan alasan apabila terhadap suatu objek yang
sama, terdapat 2 (dua) putusan PK yang bertentangan, sesuai dengan SEMA RI
Nomor 10 Tahun 2009 tentang Pengajuan Permohonan Peninjauan Kembali. Dalam
pertimbangan poin nomor 1 dan 2 SEMA 7/2014 dinyatakan bahwa MK hanya menghapus
ketentuan PK dalam pasal 268 (3) KUHAP, dan tidak menghapus ketentuan PK di
dalam Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dan
Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 jo. Undang-undang Nomor 5 Tahun
2004 jo. Undang-undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung.
B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar
belakang diatas, maka rumusan masalah dalam
makalah ini adalah Bagaimanakah Peninjauan Kembali (PK) sebagai upaya hukum luar biasa
dipandang dari keputusan Mahkamah Konstitusi nomor 34/PUU-XI/2013 dan Surat
Edaran mahkamah Agung Nomor 7 tahun 2014.
BAB II
PEMBAHASAN
A. PUTUSAN MAHKAMAH KONTITUSI TENTANG PENINJAUAN
KEMBALI (PK)
Mahkamah
Konstitusi (MK) pada tanggal 6 Maret 2014 mengeluarkan Keputusan Nomor
34/PUU-XI/2013. Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa Pasal 268
ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana atau yang
biasa disebut dengan KUHAP, bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 karena
membatasi Peninjauan Kembali oleh terdakwa hanya sekali. Dengan alasan
keadilan, Mahkamah Konstitusi membatalkan pasal tersebut, yang merugikan
kedudukan Pemohon yang dalam hal ini ialah Antasari Azhar, Ida Laksmiwaty dan
Ajeng oktarifka Antasariputri. Putusan Mahkamah Konstitusi ini membuka jalan
bagi ketiga pemohon untuk melakukan Peninjauan Kembali atas putusan Peninjauan
Kembali dari Mahkamah Agung. Pengajuan uji materil ke Mahkamah Konstitusi
dilakukan pada tanggal 25 April 2013. Dengan hanya diijinkan sekali mengajukan
Peninjauan Kembali, maka menjadi rintangan bagi para pemohon untuk mengajukan
lagi Peninjauan Kembali terkait kasus yang menimpanya. Menurut pemohon pada
waktu itu, ia sudah mempunyai bukti baru dan kuat.
Putusan
ini menyiratkan bahwa Peninjauan Kembali dapat diajukan lebih dari sekali
sepanjang memenuhi syarat yang ditentukan Pasal 268 ayat (2) KUHAP. Berikut kutipan Putusan Mahkamah Konstitusi bernomor 34/PUU-XI/2013:“Mengabulkan
permohonan pemohon untuk seluruhnya. Pasal 268 ayat (3) KUHAP bertentangan
dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.” pada
dasarnya, pemohon dalam perkara ini hanya meminta diperbolehkannya PK diajukan
lebih dari 1 kali, hanya untuk alasan yang ada dalam Pasal 263 ayat
(2) huruf a KUHAP, yaitu terdapat keadaan baru (novum). Namun, MK ternyata
menghapuskan pasal 268 ayat (3) KUHAP secara keseluruhan, sehingga bukan hanya
terkait novum yang dapat diajukan PK lebih dari satu kali, namun juga
2 syarat lain, yang diatur dalam Pasal 263 ayat (2) huruf b dan c KUHAP, yaitu
terdapat pernyataan bahwa sesuatu telah terbukti, akan tetapi hal atau keadaan
sebagai dasar dan alasan putusan yang dinyatakan telah terbukti itu, ternyata
telah bertentangan satu dengan yang lain; dan apabila putusan itu dengan jelas
memperlihatkan suatu kekhiIafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata (Pasal
263 ayat (2) KUHAP). Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa upaya hukum luar
biasa Peninjauan Kembali secara historis dan filosofis merupakan upaya hukum
yang lahir demi melindungi kepentingan terpidana. Hal itu berbeda dengan upaya
hukum biasa yang berupa banding atau kasasi yang harus dikaitkan dengan prinsip
kepastian hukum. Sebab, jika tidak adanya limitasi waktu pengajuan upaya hukum
biasa itu, maka akan menimbulkan ketidakpastian hukum yang melahirkan
ketidakadilan karena proses hukum tidak selesai.
ASAS
KEADILAN
Menurut
Mahkamah Konstitusi, dalam ilmu hukum terdapat asas litis finiri oportet, yang
berarti bahwa setiap perkara harus ada akhirnya. Namun asas itu terkait dengan
kepastian hukum, sedangkan dalam hal keadilan dalam perkara pidana, asas itu
tidak secara kaku dapat diterapkan karena dengan hanya membolehkan Peninjauan
Kembali hanya satu kali, terlebih, manakala ditemukan adanya keadaan baru (novum),
maka hal itu justru bertentangan dengan asas keadilan yang begitu dijunjung
tinggi oleh kekuasaan kehakiman Indonesia. Hal ini sebagaimana terdapat dalam
konstitusi, yaitu untuk menegakkan hukum dan keadilan (Pasal 24 ayat (1) UUD
1945). Hal ini juga sebagai konsekuensi dari asas negara hukum.
Selain
itu, alasan lain Mahkamah Konstitusi ialah upaya hukum luar biasa bertujuan
untuk menemukan keadilan dan kebenaran materil. Keadilan tidak dapat dibatasi
oleh waktu atau ketentuan formalitas yang membatasi upaya hukum luar biasa
Peninjauan Kembali, yang di dalam KUHAP, hanya dapat diajukan satu kali. Mungkin
saja setelah diajukannya Peninjauan Kembali dan diputus, ada keadaan baru (novum)
yang substansial, yang baru ditemukan saat Peninjauan Kembali sebelumnya belum
ditemukan, sehingga dapat dipandang bahwa alasan upaya hukum luar biasa atau PK
adalah untuk menciptakan keadilan, PK dibutuhkan untuk mencegah kesesatan dalam
peradilan.
B. SURAT
EDARAN MAHKAMAH AGUNG (SEMA) TENTANG PENINJAUAN KEMBALI (PK)
Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 7 Tahun 2014 tentang Pengajuan
Permohonan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana pada dasarnya lahir sebagai
tanggapan atas putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 34/PUU-XI/2013 tanggal 6
Maret 2014, yang menyatakan ketentuan pasal 268 ayat (3) KUHAP (yang mengatur
tentang PK hanya dapat dilakukan 1 kali) bertentangan dengan UUD NRI 1945 dan
tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, sehingga dengan putusan MK ini, PK
dalam perkara pidana dapat dilakukan lebih dari 1 (satu) kali, tanpa batasan.
Dalam pertimbangan poin nomor 1 dan 2 SEMA 7/2014 dinyatakan bahwa MK hanya menghapus
ketentuan PK dalam pasal 268 (3) KUHAP, dan tidak menghapus ketentuan PK di
dalam Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dan
Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 jo. Undang-undang Nomor 5 Tahun
2004 jo. Undang-undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung. Sehinggah
dapat dikatakan bahwa keputusan MK tersebut tidak membatalkan ketentuan PK yang
berada pada UU MA dan UU Kekuasaan Kehakiman tetapi hanya mengatur PK pada
perkara pidana yang diatur dalam KUHP. Perlu diingat bahwa SEMA diterbitkan
sebagai panduan bagi para hakim dalam mempertimbangkan dan memutus. Selanjutnya
terserah hakim tingkat pertama (pengadilan negeri) yang akan memutus apakah
akan diteruskan atau tidak (PK-nya) ke MA serta hakim agung yang akan
memutuskan demi keadilan dan kepastian hukum dalam masyarakat.
ASAS
KEPASTIAN HUKUM
Dari penjelasan diatas kita dapat berpandangan bahwa tujuan dari
dikeluarkan SEMA tersebut adalah untuk memberikan kepastian hukum terhadap
suatu proses peradilan, khusunya peradilan pidana. Lambatnya
eksekusi terhadap para terdakwa juga menjadi salah satu hal yang
melatarbelakangi terbitnya SEMA tersebut. Tetapi dapat terjadi polemik untuk
mempertanyakan letak kepastian hukumnya karena dalam teorinya vonis pada
tingkat kasasi telah memberikan kepastian hukum. Karena itu, seharusnya
eksekusi bisa dilaksanakan, walaupun ada ketentuan PK bisa diajukan
berkali-kali. Dalam Pasal 268 ayat (1) KUHAP, dinyatakan bahwa “Permintaan peninjauan kembali atas suatu
putusan tidak
menangguhkan maupun menghentikan pelaksanaan dari putusan tersebut”.
Dari aturan ini terlih, bahwa pengajuan PK tidak dapat menunda eksekusi putusan
pidana. Sehingga, pendapat yang menyatakan bahwa PK berulang dapat menimbulkan
ketidakpastian hukum dapat dikatakan tidak benar, karena seperti ketentuan di
atas, PK sendiri tidak menangguhkan atau menghentikan pelaksanaan putusan yang
dijatuhkan, sehingga hal tersebut adalah suatu bentuk kepastian hukum sendiri.
C. KEDUDUKAN PUTUSAN MK DAN SURAT EDARAN MAHMAKAH AGUNG
Perlu dipahami bahwa putusan MK pada dasarnya bukanlah peraturan
perundang-undangan. Namun, sifat dari putusan MK adalah mengubah undang-undang,
jelas diterangkan hierarki peratutan perundang undangan dalam Pasal 7 ayat (1)
angka 3 UU 12/2011. Apabila ada putusan MK yang membatalkan suatu pasal, atau
kata, atau frasa, dalam satu undang-undang, atau satu undang-undang tersebut
dibatalkan, maka dengan sendirinya putusan MK tersebut mengubah undang-undang
tersebut. Dalam pasal 10 ayat (1) huruf a UU no 24 tahun 2003 tentang Mahkamah
Kontitusi disebutkan “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat
pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang
terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”
Sedangkan disisi lain, Jelas dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Dalam Pasal 8 ayat (1) dan
(2), pada intinya, menyatakan bahwa peraturan yang salah satunya dikeluarkan
oleh Mahkamah Agung diakui keberadaannya dan memiliki hukum mengikat selama
diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk
berdasarkan kewenangan. Apabila kita melihat kepada pasal 79 UU
14/1985 jo. UU 5/2004 jo. UU 3/2009 tentang Mahkamah Agung,
maka disebutkan bahwa: “Mahkamah Agung
dapat mengatur lebih lanjut hal-hal yang diperlukan bagi kelancaran
penyelenggaraan peradilan apabila terdapat hal-hal yang belum cukup diatur
dalam Undang-undang ini” dimana penjelasannya berbunyi: “Apabila dalam
jalannya peradilan terdapat kekurangan atau kekosongan hukum dalam suatu
hal, Mahkamah Agung berwenang
membuat peraturan sebagai pelengkap untuk mengisi kekurangan
atau kekosongan tadi. Dengan Undang-undang ini Mahkamah Agung berwenang
menentukan pengaturan tentang cara penyelesaian suatu soal yang belum atau
tidak diatur dalam Undang-undang ini”. Dalam hal ini peraturan yang dikeluarkan
oleh Mahkamah Agung dibedakan dengan peraturan yang disusun oleh pembentuk
Undang-undang. Penyelenggaraan peradilan yang dimaksudkan Undang-undang ini
hanya merupakan bagian dari hukum acara secara keseluruhan. Dengan demikian
Mahkamah Agung tidak akan mencampuri dan melampaui pengaturan tentang hak dan
kewajiban warga negara pada umumnya dan tidak pula mengatur sifat, kekuatan,
alat pembuktian serta penilaiannya atau- pun pembagian beban pembuktian.
Hubungan antara Undang-Undang dan SEMA sebenarnya tidak dijelaskan hierarki
nya, karena dalam pasal 7 ayat (1) UU 12 tahun 2011 hanya memasukkan UUD NRI
1945, Tap MPR, UU/Perppu, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan
Pemerintah Daerah Provinsi, dan Peraturan Pemerintah Kabupaten/Kota dalam
hierarki nya, sedangkan SEMA dan peraturan lainnya seperti yang diterbitkan BI,
BPK, dan lain sebagainya, disebut diakui keberadaannya dan mengikat dengan
syarat seperti yang telah dijelaskan di atas, tanpa dijelaskan hierarki nya
dimana. Namun, dalam praktik ketatanegaraan SEMA dan peraturan-peraturan
lainnya tersebut secara hierarki diletakkan dibawah UUD NRI 1945, Tap MPR,
UU/Perppu, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Pemerintah
Daerah Provinsi, dan Peraturan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota. Sehingga,
berdasarkan hal-hal ini dapat dikatakan bahwa aturan dalam putusan MK,
secara sifat, lebih tinggi dari SEMA yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung. Dalam
ilmu perundang-undangan, dikenal sebuah teori yang dikenalkan oleh Hans Kelsen,
yang disebut sebagai Stufenbau Theory, yang artinya bahwa suatu peraturan
perundang-undangan yang secara hierarkis dibawah tidak boleh bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan yang secara hierarkis berada di atasnya.
Dengan bekaca kepada teori ini, dan melihat secara sifat bahwa SEMA, secara
hierarkis berada dibawah undang-undang yang diubah dengan putusan MK, maka
sangat jelas bahwa, pada dasarnya, SEMA tidak boleh bertentangan dengan
undnag-undang, yang telah diubah dengan putusan MK, atau dengan kata lain, SEMA
tidak boleh bertentangan dengan putusan MK.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Keributan mengenai putusan MK dan Surat edaran MA tentang pengajuan PK
dalam perkara pidana, menunjukkan bahwa adanya ketidaksamaan pandangan dari
lembaga hukum di Indoensia, yang dalam hal ini adalah MA dan MK, dalam
menanggapi suatu permasalahan hukum yang ada, terutama tentang pengaturan
pengajuan PK dalam perkara pidana. Hal ini amat sangat disayangkan terjadi,
terlebih keributan ini melibatkan 2 institusi penegak hukum berwibawa, seperti
Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi.
Didasari
karena sering kali orang mengaitkan antara keadilan dengan kepastian hukum. Dua
hal itu di dalam hukum pidana memang sering sekali bertentangan. Hakim dalam
memutus sebuah perkara pidana kadang lebih mempertimbangkan kepastian hukum, tetapi
juga, kadang pertimbanganya lebih pada keadilan hukum. KUHAP sendiri bertujuan
untuk melindungi hak asasi manusia dari kesewenang-wenangan negara terkait
dengan hak hidup dan kebebasan sebagai hak fundamental. Hak tersebut dijamin
dalam konstitusi sebagaimana tersebut di dalam Pasal 28I ayat (4) dan Pasal 24
ayat (1) UUD 1945. Oleh karenanya, Peninjauan Kembali sebagai upaya hukum luar
biasa yang diatur dalam KUHAP harus lah dalam kerangka yang demikian, yakni
untuk menegakkan hukum dan keadilan. Mahkamah Konstitusi menegaskan bahwa upaya
pencapaian kepastian hukum sangat layak dibatasi. Namun tidak demikian dengan
upaya pencapaian keadilan. Sebab keadilan kebutuhan manusia yang sangat
mendasar dan lebih mendasar daripada kepastian hukum. “Kebenaran materil
mengandung semangat keadilan, tetapi norma hukum acara mengandung sifat
kepastian hukum yang terkadang mengabaikan asas keadilan.”
Hendaknya kedepan, para penegak hukum di Indonesia memiliki pandangan yang
sama mengenai suatu permasalahan hukum, sehingga tidak ada lagi perbedaan
pendapat antara satu institusi hukum dengan institusi hukum lainnya, dan
kesatuan hukum akan tercapai. Sebaiknya perumusan keputusan-keputusan hukum
harus diputuskan secara visioner dengan logika yang tepat, sehingga keputusan
tersebut tidak hanya berguna untuk saat ini, tapi juga berguna untuk di masa
yang akan datang, dan terutama, tidak menimbulkan masalah di masa yang akan datang.