Hoegeng
Imam Santoso (lahir di Pekalongan, Jawa Tengah, 14 Oktober 1921 – meninggal14 Juli 2004 pada umur 82 tahun) adalah salah satu tokoh kepolisian negara
republik Indonesia. Dia masuk pendidikan HIS pada usia enam tahun, kemudian melanjutkan
ke MULO (1934)
dan menempuh sekolah menengah di AMS Westers Klasiek (1937). Setelah itu,
dia belajar ilmu hukum di Rechts Hoge School Batavia tahun 1940. Sewaktu
pendudukan Jepang, dia mengikuti latihan kemiliteran Nippon (1942) dan
Koto Keisatsu Ka I-Kai (1943). Baru dia diangkat menjadi Wakil Kepala Polisi
Seksi II Jomblang Semarang (1944), Kepala Polisi Jomblang (1945), dan Komandan
Polisi Tentara Laut Jawa Tengah (1945-1946). Kemudian
mengikuti pendidikan Polisi Akademi dan bekerja di bagian Purel, Jawatan
Kepolisian Negara. Mas Hoegeng di luar kerja terkenal dengan kelompok pemusik
Hawaii, The Hawaiian Seniors. Selain ikut menyanyi juga memainkan ukulele.
Sering terdengar di Radio Elshinta dengan banyolan khas bersama Mas Yos.
Banyak
hal terjadi selama kepemimpinan Kapolri Hoegeng Iman Santoso. Pertama, Hoegeng
melakukan pembenahan beberapa bidang yang menyangkut Struktur Organisasi di
tingkat Mabes Polri. Hasilnya, struktur yang baru lebih terkesan lebih
dinamis dan komunikatif. Kedua, adalah soal perubahan nama pimpinan polisi dan
markas besarnya. Berdasarkan Keppres No.52 Tahun 1969, sebutan Panglima
Angkatan Kepolisian RI (Pangak) diubah menjadi Kepala Kepolisian RI (Kapolri).
Dengan begitu, nama Markas Besar Angkatan Kepolisian pun berubah menjadi Markas
Besar Kepolisian (Mabak). Perubahan itu membawa sejumlah konsekuensi untuk
beberapa instansi yang berada di Kapolri. Misalnya, sebutan Panglima Daerah
Kepolisian (Pangdak) menjadi Kepala Daerah Kepolisian RI atau Kadapol. Demikian
pula sebutan Seskoak menjadi Seskopol. Di bawah kepemimpinan Hoegeng peran
serta Polri dalam peta organisasi Polisi Internasional, International Criminal
Police Organization (ICPO), semakin aktif. Hal itu ditandai dengan dibukanya
Sekretariat National Central Bureau (NCB) Interpol di Jakarta.
Tahun 1950, Hoegeng mengikuti Kursus
Orientasi di Provost Marshal General School pada Military Police School Port
Gordon, George, Amerika Serikat. Dari
situ, dia menjabat Kepala DPKN Kantor Polisi Jawa Timur di Surabaya (1952).
Lalu menjadi Kepala Bagian Reserse Kriminil Kantor Polisi Sumatera Utara (1956)
di Medan. Tahun 1959, mengikuti pendidikan Pendidikan Brimob dan
menjadi seorang Staf Direktorat II Mabes Kepolisian Negara (1960), Kepala
Jawatan Imigrasi (1960), Menteri luran Negara (1965), dan menjadi Menteri
Sekretaris Kabinet Inti tahun 1966. Setelah Hoegeng pindah ke markas Kepolisian
Negara kariernya terus menanjak. Di situ, dia menjabat Deputi Operasi Pangak
(1966), dan Deputi Men/Pangak Urusan Operasi juga masih dalam 1966. Terakhir,
pada 5 Mei 1968, Hoegeng diangkat menjadi Kepala Kepolisian Negara (tahun 1969,
namanya kemudian berubah menjadi Kapolri), menggantikan Soetjipto
Joedodihardjo. Hoegeng mengakhiri masa jabatannya pada tanggal 2 Oktober 1971,
dan digantikan oleh Drs. Mohamad Hasan.
Ia juga pernah menjadi
Kepala Imigrasi (1960), dan juga pernah menjabat sebagai menteri di jajaran
kabinet era Soekarno. Kedisiplinan dan kejujuran selalu menjadi simbol Hoegeng
dalam menjalankan tugasnya di manapun.
Kejujuran
yang dimiliki Hoegeng tercermin dari beberapa peristiwa berikut. Hoegeng pernah
menolak hadiah rumah dan berbagai isinya ketika menjalankan tugas sebagai
Kepala Direktorat Reskrim Polda Sumatera Utara pada tahun 1956. Ketika itu,
Hoegeng dan keluarganya lebih memilih tinggal di hotel dan hanya mau pindah ke
rumah dinas, jika isinya hanya benar-benar barang inventaris kantor saja. Semua
barang-barang pemberian itu akhirnya ditaruh Hoegeng dan anak buahnya di
pinggir jalan saja. “Kami tak tahu dari siapa barang-barang itu, karena kami
baru datang dan belum mengenal siapapun,” kata Merry Roeslani, istri Hoegeng.
Saking
jujurnya, Hoegeng baru memiliki rumah saat memasuki masa pensiun. Atas kebaikan
Kapolri penggantinya, rumah dinas di kawasan Menteng Jakarta pusat pun menjadi
milik keluarga Hoegeng. Tentu saja, mereka mengisi rumah itu, setelah seluruh
perabot inventaris kantor ia kembalikan semuanya.
Polisi
Kelahiran Pekalongan tahun 1921 ini, sangat gigih dalam menjalankan tugas. Ia
bahkan kadang menyamar dalam beberapa penyelidikan. Kasus-kasus besar yang
pernah ia tangani antara lain, kasus pemerkosaan tukang jamu gendong atau
dikenal dengan kasus Sum Kuning, yang melibatkan anak pejabat. Ia juga pernah
membongkar kasus penyelundupan mobil yang dilakukan Robby Tjahjadi, yang
notabene dekat dengan keluarga Cendana.
Kasus inilah yang kemudian santer diduga sebagai penyebab pencopotan Hoegeng oleh Soeharto. Hoegeng dipensiunkan oleh Presiden Soeharto pada usia 49 tahun, di saat ia sedang melakukan pembersihan di jajaran kepolisian. Kabar pencopotan itu diterima Hoegeng secara mendadak. Kemudian Hoegeng ditawarkan Soeharto untuk menjadi duta besar di sebuah Negara di Eropa, namun ia menolak. Alasannya karena ia seorang polisi dan bukan politisi.
Atas semua pengabdiannya kepada negara,
Hoegeng Imam Santoso telah menerima sejumlah tanda jasa,
§ Bintang Gerilya
§ Bintang Dharma
§ Bintang Bhayangkara I
§ Bintang Kartika Eka Paksi I
§ Bintang Jalasena I
§ Bintang Swa Buana Paksa I
§ Satya Lencana Sapta Marga
§ Satya Lencana Perang
Kemerdekaan (I dan II)
§ Satya Lencana Peringatan
Kemerdekaan
§ Satya Lencana Prasetya
Pancawarsa
§ Satya Lencana Dasa Warsa
§ Satya Lencana GOM I
§ Satya Lencana Yana Utama
§ Satya Lencana Penegak
§ Satya Lencana Ksatria
Tamtama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar