KELOMPOK I
KELAS D
BAB I
PENDAHULUAN
1.
LATAR BELAKANG
Manusia merupakan makhluk ciptaan Tuhan
yang paling sempurna diantara makhluk lain. Dengana akal budinya, manusia dapat
berpikir dan menemukan cara-cara yang paling tepat untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya, baik kebutuhan sebagai makhluk individual maupun sebagai makhluk
sosial. Salah satu cara yang ditemukan oleh manusia dalam rangka memenuhi
kebutuhannya tersebut adalah kerja sama. manusia sadar bahwa tanpa kerja sama,
mereka tidak mungkin memenuhi kebutuhannya sendiri secara layak.
Sifat majemuk dari bangsa Indonesia, disamping
merupakan kebanggaan hendaknya pula dilihat bahwa suatu negara dengan
keanekaragaman suku-bangsa dan kebudayaan mengandung potensi konflik. Oleh
karenanya guna menuju suatu integrasi nasional Indonesia yang kokoh, terdapat
berbagai kendala yang harus diperhatikan.
2.
MAKSUD DAN TUJUAN
a. Maksud
Maksud daripada penyusunan makalah ini adalah untuk
memberikan refrensi tambahan bagi para pembaca tentang kerjasama yang dipandang
mealalui ilmu hubungan antar suku bangsa dengan prespektif interaksionistik.
b. Tujuan
Dalam
penyusunan makalah ini memilki beberapa tujuan yang ingin dicapai.
Adapun tujuan tersebut antara lain :
1) Agar para pembaca mengetahui bahwa di Indonesia
dalam hal ini Kab Bangka Prov Bangka belitung terdapat kerjasama antara suku
melayu dengan tionghoa yang terjadi secara alami
2) Agar dapat memberikan gambaran kepada para
pembaca tentang bentuk kerjasama antar suku bangsa di Indonesia.
3) Agar dapat memenuhi standar penilaian dalam
penugasan mata kuliah hubungan antar suku bangsa.
3.
RUANG LINGKUP
Dalam penyusunan makalah ini memilki batasan-batasan
materi yang dibahas tentang kerjasama yang dipandang melalui ilmu hubungan
antar suku bangsa ditinjau dari perspektif interaksionistik dengan masalah
sebagai berikut:
Ø ”Bagaimana
bentuk kerjasama antara suku melayu (pribumi) dengan suku tionghoa (pendatang)
di kab bangka prov bangka belitung di tinjau dari Prespektif interaksionistik ?
“
BAB II
PEMBAHASAN
1. ARTI KERJASAMA.
Arti kerjasama adalah interaksi sosial antar individu atau kelompok yang
secara bersama-sama mewujudkan kegiatan untuk mencapai tujuan bersama. Untuk
lebih jelasnya simaklah bahasan berikut ini. Arti kerja sama dalam berbagia
kehidupan, Pada hakikatnya, manusia adalah makhluk individu sekaligus makhluk
sosial. Sebagai makhluk individu manusia ingin diperhatikan, dihormati dan
didahulukan kepentingannya. Sebagai makhluk sosial, manusia selalu ingin
berkumpul dengan manusia yang lain. Aristoteles menamakan hal ini sebagai zoon
politicon artinya makhluk yang selalu ingin hidup berkelompok dan sesamanya.
Berdasarkan konsep tersebut, lahirlah hubungan dan kerja sama manusia satu
dengan lainnya. Manusia atau bangsa tidak dapat lepas dari hubungan kerja sama
dengan manusia atau bangsa lain. Hal ini membuktikan bahwa kerja sama
benar-benar hal yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Beban suatu negara
menjadi sangat berat bila hubungan dengan bangsa lain dihambat atau diputus.
2. HARMONISASI ANTARA TIONGHOA DENGAN MELAYU DI
KAB BANGKA
Tidak ada kota di Indonesia yang penulisan nama jalannya
menggunakan tiga bahasa selain Sungailiat, ibu kota Kabupaten Bangka, Provinsi
Kepulauan Bangka Belitung. Di sana, setiap papan nama jalan ditulis menggunakan
bahasa Indonesia, yang letaknya paling atas, lalu bahasa Arab dan bahasa
Mandarin.
Kebijakan yang diterapkan sejak tahun 2006 tersebut
sengaja dilakukan pemerintah setempat guna menunjukkan dan memberi pesan kepada
masyarakat luas bahwa daerah itu dihuni warga berbagai suku dan agama, yang
semuanya memiliki posisi setara.
Harmonisasi antarwarga Melayu dan Tionghoa di Bangka
begitu kental dan mesra. Kebiasaan ini sudah berlangsung sejak nenek moyang mereka
sehingga mereka wajib merawatnya.
Saat ini, populasi warga Tionghoa di Provinsi Kepulauan
Bangka Belitung sekitar 30 persen dari total 1,2 juta jiwa penduduk wilayah
itu. Mereka menekuni berbagai profesi, seperti pengusaha, petani, nelayan,
tukang jahit, serta penjual sayur, ikan, dan buah-buahan. Ada juga guru dan
karyawan.
Tempat tinggal mereka pun tidak selalu terkonsentrasi di
lokasi tertentu, tetapi cenderung membaur dengan masyarakat dari etnis dan
agama lain. Itu sebabnya, pembauran berlangsung alami.
Sejak kecil, anak suku melayu sudah bergaul dan bermain
bersama anak-anak warga Tionghoa. Meraka bersahabat kental sehingga beberapa anak
Melayu bisa berbicara bahasa Mandarin dengan lancar. Orangtua mereka pun selalu
berpesan bahwa orang Tionghoa adalah saudara dekat,
Jika ada warga Tionghoa menggelar hajatan atau dalam
kedukaan, tetangganya warga Melayu atau etnis lain selalu dilibatkan. Begitu
pula sebaliknya, jika etnis lain melakukan kegiatan serupa, warga Tionghoa pun
bahu-membahu untuk memasak, mengurusi tamu, dan lain-lain.
Eratnya kebersamaan ini membuat hampir tidak ada konflik
sosial yang melibatkan etnis di Bangka. Apalagi, pekerjaan yang ditekuni dan
jenis rumah yang ditempati pun hampir sama sehingga nyaris terbebas dari
kecemburuan sosial,
Saat Imlek atau Lebaran, mereka bersalam-salaman sebab
di antara warga Melayu dan Tionghoa sering terjadi perkawinan silang. Anak
laki-laki ada yang kawin dengan perempuan Melayu dan masuk Islam. Tetapi, saat
Imlek, mereka bersama istri dan mertuanya datang ke rumah memberikan selamat.
Saat Lebaran, mereka sekeluarga juga mendatangi rumah anak dan besan untuk
menyampaikan selamat merayakan Idul Fitri,
Kebiasaan bersilaturahim tersebut bahkan telah membudaya
dalam kehidupan masyarakat di Bangka, baik masyarakat Tionghoa maupun Melayu. persaudaraan yang terbina
melalui perkawinan telah membuat hubungan antara warga Tionghoa, Melayu, dan
Islam di Bangka Belitung nyaris tanpa sekat. Beberapa tahun lalu pernah ada
pihak yang melakukan provokasi guna membenturkan warga Tionghoa dengan Melayu
dan Islam di wilayah itu, tetapi tidak berhasil.
Harmonisasi seperti ini harus terus terbina dan
terpelihara. Namun, para pembuat kebijakan pun perlu mengayomi semua pihak agar
kebersamaan yang telah terjalin di tengah masyarakat tidak dihancurkan oleh
kepentingan politik sesaat,
3. KERJASAMA ANTARA SUKU TIONGHOA DENGAN MELAYU
DI KAB BANGKA
Harus diakui, antara Bangka dan masyarakat Tionghoa
sudah seperti dua sisi mata uang. Di pulau ini, kelompok masyarakat Tionghoa
telah menyatu dengan tanah setempat selama ratusan tahun. Masyarakat Tionghoa
mulai hadir di Pulau Bangka selama periode 1757-1776 atas kehendak Sultan Ahmad
Najamuddin Adikusumo, putra Sultan Mahmud Badaruddin II, yang saat itu memimpin
Kerajaan Sriwijaya. Tujuan utama mendatangkan mereka adalah untuk meningkatkan
produksi dan kualitas pengolahan timah sebab warga Tionghoa dinilai lebih
terampil dan sudah menguasai teknologi penambangan timah.
Gelombang berikutnya didatangkan lagi para petani,
tukang jahit, dan tukang kayu. Kehadiran beragam profesi itu dimaksudkan agar
terjalin hubungan yang lebih luas antara warga asal China dan masyarakat
setempat. Para warga asal China yang datang ke Bangka saat itu umumnya
laki-laki dan tidak membawa keluarga. Seiring dengan perjalanan waktu, mereka
pun akhirnya memilih bertahan di Bangka dengan menikahi perempuan-perempuan
pribumi dan Melayu di sana.
Jadi, masyarakat Tionghoa di Bangka saat ini merupakan
keturunan pribumi dan Melayu. Hubungan persaudaraan dan keharmonisan erat yang
terjalin antara masyarakat Tionghoa dan Melayu di Bangka selama ini karena
mereka umumnya memiliki garis keturunan yang sama. Dengan adanya asimilasi yang
kuat melalui perkawinan itu akhirnya berkembang penyebutan di kalangan
masyarakat Bangka, yakni fan ngin, to ngin jit jong, yang berarti ’pribumi,
Melayu, dan Tionghoa semuanya sama dan setara’.
Karena itu, hubungan kekeluargaan antarwarga Melayu, Tionghoa, dan
pribumi di Bangka tidak lahir secara kebetulan demi menjaga stabilitas wilayah,
tetapi karena merasa sebagai satu keluarga besar,
Seorang pegawai kolonial Belanda, Boggart, pada tahun 1803 pernah berkunjung ke Bangka.
Berdasarkan pengamatannya, Boggart mendeskripsikan ada empat kelompok etnis
yang hidup di Bangka. Mereka adalah orang melayu dari Johor Siantan (Malaysia),
orang Tionghoa, orang laut, dan orang darat atau orang gunung. Orang darat atau
gunung merupakan warga pribumi Bangka. Yang belum beragama Islam disebut orang
Lom dan yang sudah menganut Islam disebut Selam. Orang darat masih tersisa di
daerah Air Abik, Kecamatan Belinyu, Kabupaten Bangka. Mereka disebut suku
Mapur. Sementara orang laut bertahan di daerah Kedimpel dan Tanjunggunung,
Kecamatan Pangkalan Baru, Kabupaten Bangka Tengah. Mereka adalah komunitas suku
Sekak. ”Deskripsi Boggart ini membuktikan adanya kesetaraan Melayu, Tionghoa,
dan pribumi di Bangka terjalin sejak ratusan tahun silam,” katanya.
BAB III
PENUTUP
1. KESIMPULAN
Berdasarkan penjelasan dari permasalah diatas maka
dapat ditarik kessimpulan sebagai berikut :
a. Kerjasama
yang terjadi antara tionghoa dan melayu bermula dari kebutuhan warga pribumi
akan ketrampilan yang di miliki warga tionghoa
- Kerjasama
di bidang pertambangan, pertanian dan ekonomi
- Dari
kerjasama terjadi asimilasi perkawinan sehinggah terjadi kerjasama yang
berkesinambungan sampai sekarang
- Pembauran
yang terjadi yang awalnya kerjasama melahirkan penyesuaian tradisi antara
keduanya.
2. SARAN
Setelah menyelesaikan
makalah ini maka kami menyarankan sebaiknya pemberian tugas seperti ini dapat
diberikan secara bertahap dan berkelanjutan yang dikerjakan secara kelompok
yang tidak terlalu besar sehingga diharapkan dapat memperoleh hasil yang
maksimal.
DAFTAR PUSTAKA
suparlan, parsudi. 2008. hubungan antar suku bangsa.
jakarta; yayasan
pengembangan kajian ilmu kepolisian
Tidak ada komentar:
Posting Komentar