BAB I
PENDAHULUAN
1. LATAR BELAKANG
Dalam masyarakat sekarang ini banyak peristiwa kriminal yang terjadi dan peristiwa kriminal tersebut semakin hari semakin kompleks, juga peristiwa kriminal sekarang ini tetap tidak memandang korbannya, baik dari segi umur maupun jenis kelamin. Apabila kiat perhatikan dengan seksama tidak semua anggota masyarakat mempunyai kemampuan utnutk melindungi diri dari peristiwa kriminal (korban tindak pidana). Beberapa kelompok misalnya perempuan, anak-naka, manula, orang cacat, pendatang dan korban kejahatan termasuk dalam kepompok yang rentan dalam hal perlindungan diri. Sering diperlakukan dengan tidak adil, kerap menjadi korban kejahatan, kekerasan fisik dan mental, serta tidak dapat melindungi diri sendiri adalah sebab mengapa mereka disebut kelompom rentan. Polisi perlu memberi perhatian dan perlakuan khusus agar hak asasi manusia mereka terlindungi. Harus pula kita sadari bahwa kelompok rentan adalah bagian dari masyarakat juga. Dengan demikian, perlindungan terhadap mereka akan membantu terciptanya hubungan yang lebih baik antara Polisi dan keseluruhan masyarakat. Patut kita sadari bahawa sebagai manusia, setiap individu mempunyai hak-hak dasar. Serangkain haka dasar tersebut antara lain adalah hak untuk hidup, ddiperlakukan sederajat, kebebasan dan keamanan pribadi, perlindungan yang sama dihadapan hokum, bebas diskriminasi, mendapatkan standar tertinggi dalam kesehatan mental dan setiap individu juga memiliki hak dasar untuk bebas dari penyiksaan serta bebas dari perlakuan yang tidak manusiawi dan merendahkan martabat.
masih ada perilaku – perilaku dari orang tua yang belum memperhatikan untuk pemenuhan hak anak (misal waktu belajar) anak tidak diingatkan untuk belajar dan diberi kesempatan untuk belajar, anak sakit (masuk angin di “keroki” sampai menggeliat kesakitan) mereka beranggapa bahwa perilaku demikian itu adalah wajar. Kekerasan yang diterima anak tersebut adalah dipukul pakai sulak (sapu). Kuantitas kekerasan terhadap anak itu relatif kecil bukan disebabkan tidak adanya kekerasan yang terjadi tetapi masyarakat belum tahu mengenai bentuk – bentuk dari kekerasan terhadap anak “masyarakat di sini kekerasan itu tindakan yang ditujukan kepada anak dan anak tersebut merasa kesakitan” Kondisi demikian ini tidak bisa dibiarkan mengingat anak merupakan salah satu bentuk amanah Allah yang harus dirawat, dididik, dan dibina oleh orang tua atau keluarga agar dapat tumbuh dan berkembang secara wajar sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai manusia. Di sisi lain anak sebagai generasi penerus keluarga dan masyarakat yang sekaligus pemilik dan pengelola masa depan bangsa dan negara yang harus sehat, cerdas, terdidik berakhlak, dan berjiwa sosial terhadap sesama manusia. Kedua sisi mengharuskan kepada masyarakat khususnya orang tua untuk memberikan kasih saying, pengasuhan yang tepat dan bermanfaat bagi anak dalam aspek intelektual, mental emosional, spiritual, dan sosial, di samping juga memberikan perlindungan dari segala tindakan yang secara etis, yuridis, dan kebiasaan tidak sepantasnya atau bahkan bertentangan
2. MAKSUD DAN TUJUAN
Menyadari bahwa anak merupakan salah satu yang termasuk dalam kelompok rentan maka perlu kita pelajari seksama bagaimana perlakuan dan perlindungan hukum terhadap anak yang merupaka kelompok rentan. Untuk itu dibuatlah makalan ini agar para taruna sebagai calon perwira Polri yang nantinya berrperan sebagai pelayan, pelindung dan pengayom masyarakat diharapkan dapat memahami tugasnya terutama dalam perlindungan tehadap anak.
3. RUMUSAN MASALAH
Dari uraian diatas, sesuai dengan latar belakang dan maksud tujuan pembuatan makalah ini maka dapat ditarik permasalah sebagai berikut:
- Bagaimana posisi anak sebagai kelompok rentan
- Bagaimana anak sebagai korban kejahatan
- Bagaimana perlindungan terhadap anak sebagai kelompok rentan
Dengan rumusan permaslahan yang akan dijelaskan dalam bab selanjutnya diharapkan dapat menambah pemahaman kita tentang pentingnya perlindungan anak sebagai kelompok rentan.
BAB II
ISI
1. ANAK SEBAGAI KELOMPOK RENTAN
Anak-anak adalah masa depan bangsa dan Negara, mereka yang memegang peran sangat penting bagi masyarkat dimasa mendatang. Mereka yang kelak akan menjadi pemimpin-pemimpin Indonesia. Namun demikian anak-anak juga merupakan salah satu kelompok rentan dalam setiap masyarakat. Anak-anak dalam konteks pembinaan, juga memegang perannan penting, dengan membina hubungan baik dengan mereka. Turut serta serta dalam berbagai proyek olahraga di sekolah adalah contoh pembinaan terhadap mereka. Dalam konvensi PBB mengenai hak-hak anak (PBB 16 Juni 1995) menjabarkan defenisi seorang anak, yaitu “setiap manusia berusia dibawah 18 tahun”.
Memperlakukan anak dengan tulus dan sungguh-sungguh adalah salah satu aspek penting dalam menghormati hak-hak merena sebagai manusia. Untuk itu kita haru bersikap kepada meraka seperti bersikap sabar, berusaha menimbulkan kepercayaan kepada mereka, memperhatikan bahwa anak-anak terutama yang masih kecil atau anak-anak yang tidak tahu apa-apa tidak dapat langsung mengerti bahwa telah menjadi korban kekerasan atau korban eksploitasi, tanggap terhadap tanda-tanda adanya penyiksaan dan eksploitasi. Sebagai kelompok rentan anak-anak memerlukan perlakuan khusus, perlindungan dan perlindungan dari perlakuan kasar.
Setiap anak berhak diperlakukan dengan wajar dan sesuai martabat mereka sebagai manusia. Petugas polisi yang menangani anak yang menjadi korban tindakan kejahatan harus lebih bersikap penu kasih sayang dibandingkan ketika mereka menangani korban yang sudah dewasa. Anak yang melakukan kejahatan juga harus diperlakukan khusus. Perlaakuan yang tidak sama dengan yang diberikan terhadaporang dewasa yang melakukan kejahatan. Selain alasan di atas perlu disadari semua bahwa negara telah memberikan perlindungan hokum kepada anak dicantumkan dalam UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Sebagai tanggungjawab bersama adalah mengupayakan penegakan UU tersebut baik secara preventif maupun represif. Upaya preventif dari penegakan ini UU ini dapat dilakukan dengan membangun komunikasi yang interaktif. Bahwa komunikasi (interaksi) merupakan suatu tindakan yang berperan penting untuk memperoleh pemahaman yang tidak mengejar pada keberhasilan tujuan individual melainkan pada situasi bersama. Sehubungan dengan itu penulis beranggapan bahwa tindakan komunikatif kepada masyarakat tentang UU Perlindungan Anak perlu dilakukan untuk dapat diwujudkan usaha – usaha perlindungan anak oleh orang tua, masyarakat, dan pemerintah.
2. ANAK SEBAGAI KORBAN KEJAHATAN
Aparat penegak hukum seharusnya memberikan perlindungan da perhatian khusus bagi anak-anak yang menjadi korban kejahatan. Semua anak harus diperlakukandengan adil dan dihargai martabatnya tanpa memandang status dan latar belakang sosialnya. Anak miskin yang menjadi korban kekerasan harus mendapat perlakuan sama dengan yang didapat anak orang kaya. Secara keseluruhan anak-anak harus dilindungi dari eksploitasi dan penyalahgunaa/pelecehan seksual. 18 tahun”. di samping juga perlu diingat bahwa dalam suatu aturan hukum berlaku asas fictie hokum, anggapan bahwa setiap orang tahu hukum, sehingga tidak ada alasan bagi seseorang jika melanggar ketentuan hukum untuk bebas dari sanksi yang telah ditetapkan hanya karena tidak mengetahui adanya aturan tentang perlindungan anak (UU no 23 thn 2002). memaparkan poin – poin penting yang diatur dalam UU Perlindungan Anak, antara lain:Perlindungan Hukum …
1. Batasan Anak;
2. Kewajiban Orang Tua terhadap Anak;
3. Kewajiban Masyarakat terhadap Anak;
4. Kewajiban Pemerintah terhadap Anak;
5. Hak – hak yang harus diperoleh Anak.
substansi dari UU. No. 23 Tahun 2003 tentang Perlindungan Anak Batasan tentang anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun termasuk anak yang masih dalam kandungan. (Pasal I UU. Perlindungan Anak). Termasuk pula diberikan tujuan dari UU tersebut UU ini bertujuan untuk mewujudkan dan menjamin pertumbuhan dan perkembangan anak baik dari aspek fisik, mental, spiritual, maupun sosial.
Tujuan ini berkonsekwensi pada orang tua, keluarga, masyarakat, dan Negara yang dalam upaya perwujudannya harus mendasarkan pada asas – asas: (UU. Perlindungan Anak).
1. nondiskriminasi;
2. kepentingan yang terbaik bagi anak;
3. hak untuk hidup, kelangsungan hidup, perkembangan;
4. penghargaan terhadap pendapat anak.
Selain itu diberikan pula pengertian tentang apa yang dimaksud dengan tindak kekerasan terhadap anak dan bagaimana sanksinya. Tindak kekerasan kepada anak adalah perbuatan yang bertentangan dengan hukum dan dapat dipidana. Tindak kekerasan adalah perbuatan yang mengakibatkan kesengsaraan, penderitaan baik secara fisik, psikhis, dan sesual serta ekonomi. Sanksi terhadap tindakan tersebut berupa pidana penjara yang ketentuan berapa lamanya pidana penjara tersebut telah ditentukan dalam setiap bentuk tindak bertindak sewenang – wenang terhadap anak dan tidak memberikan anak kebebasan bermain melanggar hukum”. Masyarakat pada awalnya tidak mengetahui akan keberadaan UU. No. 23 Tahun 2003 tentang Perlindungan Anak, sehingga mereka tidak sadar bahwa tindakan yang dilakukan terhadap anak sebenarnya tidak diperbolehkan oleh hukum. Masyarakat setelah mengikuti dialog menjadi tahu dan paham akan kewajibannya sebagai orang tua, anggota masyarakat terhadap anak, di samping juga mereka menjadi paham akan perilaku – perilaku yang dianggap sebagai tindak kekerasan terhadap anak dan dapat dikenai sanksi oleh UU tersebut.
Berbagai pelanggaran terhadap hak-hak anak yang masih sering terjadi, tercermin dari masih adanya anak-anak yang mengalami abuse, kekerasan, eksploitasi dan diskriminasi. Hal yang menarik perhatian untuk dibahas di dalam makalah ini adalah pelanggaran Hak Asasi yang menyangkut masalah Pekerja Anak, Perdagangan Anak untuk tujuan pekerja seks komersial, dan anak jalanan. Masalah pekerja anak merupakan isu sosial yang sukar dipecahkan dan cukup memprihatinkan karena terkait dengan aspek sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat. Jumlah anak umur antara 10 sampai 14 tahun sebanyak 20,86 juta jiwa, termasuk anak yang sedang bekerja dan yang mencari pekerjaan sebesar 1,69 juta jiwa. Pada dekade terakhir, anak umur antara 10 sampai 14 tahun yang bekerja telah mengalami penurunan, namun pada tahun 1998-1999 mengalami peningkatan dibandingkan 4 tahun sebelumnya, sebagai konsekuensi dari krisis multidimensional yang menimpa Indonesia. Lapangan pekerjaan yang melibatkan anak, antara lain, dibidang pertanian mencapai 72,01 %, industri manufaktur sebesar 11,62%, dan jasa sebesar 16,37%. Pemetaan masalah anak mengindikasikan jumlah anak yang dilacurkan diperkirakan mencapai sekitar 30% dari total prostitusi, yakni sekitar 40.000 – 70.000 orang atau bahkan lebih (anak adalah berumur dibawah 18 tahun) memperkirakan jumlah anak yang dilacurkan dan berada di komplek pelacuran, panti pijat, dan lain-lain sekitar 21.000 orang. Angka tersebut bisa mencapai 5 sampai 10 kali lebih besar jika ditambah pelacur anak yang mangkal di jalan, cafe, plaza, bar, restoran dan hotel mengindikasikan ketika orang tua memperdagangkan anaknya, biasanya didukung oleh peran tokoh formal dan informal setempat misalnya untuk mendapat KTP atau memalsukan umur anak. Fenomena sosial anak jalanan terutama terlihat nyata di kota-kota besar terutama setelah dipicu krisis ekonomi di Indonesia sejak lima tahun terakhir. Hasil kajian Departemen Sosial tahun 1998 di 12 kota besar melaporkan bahwa jumlah anak jalanan sebanyak 39.861 orang dan sekitar 48% rnerupakan anak-anak yang baru turun ke jalan sejak tahun 1998. Secara nasional diperkirakan terdapat sebanyak 60.000 sampai 75.000 anak jalanan. Depsos mencatat bahwa 60% anak jalanan telah putus sekolah (drop out) dan 80% masih ada hubungan dengan keluarganya, serta sebanyak 18% adalah anak jalanan perempuan yang beresiko tinggi terhadap kekerasan seksual, perkosaan, kehamilan di luar nikah dan terinfeksi Penyakit Menular Seksual (PMS) serta HIV/AIDS. Umumnya anak jalanan hampir tidak mempunyai akses terhadap pelayanan pendidikan, kesehatan dan perlindungan. Keberadaan mereka cenderung ditolak oleh masyarakat dan sering mengalami penggarukan (sweeping) oleh pemerintah kota setempat.
3. PERLINDUNGAN TERHADAP ANAK SEBAGAI KELOMPOK RENTAN
Anak yang karena umumya secara fisik dan mental lemaht polos, dan rentan sering ditempatkan pada posisi yang kalah dan hanya diperlukan sebagai obyek. Inisiatif, ide, keinginan dan kemauan anak sering tidak diakui, apa yang baik menurut orang tua adalah terbaik untuk anak akibatnya kreatifitasnya berkurang. Sebagian masyarakat memandang bahwa anak adalah aset ekonomi, banyak anak banyak rezeki. Pandangan ini ternyata telah mendorong sikap orang tua memberlakukan anak-anaknya sebagai aset ekonomi sehingga anak dipekerjakan untuk menambah penghasilan keluarga.
Sesungguhnya masalah anak akan selesai jika masing-masing orang tua bertanggungjawab untuk memenuhi kebutuhan anaknya. Bangsa Indonesia sudah selayaknya memberikan perhatian terhadap perlindungan anak karena amanat Undang-Undang Dasar 1945 pasal 28b ayat 2 menyatakan bahwa ‘Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh kembang, serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi’. Disisi lain, perlindungan terhadap keberadaan anak ditegaskan secara eksplisit dalam 15 pasal yang mengatur hak-hak anak sesuai Pasal 52 – Pasal 66 UU No.39 tahun 1999 tentang HAM. Dalam hubungan ini, Pemerintah melalui Keppres No.88 tahun 2000 telah menetapkan Rencana Aksi Nasional Penghapusan Trafiking Perempuan dan Anak serta menetapkan Gugusan Tugas untuk memerangi dan menghapus kejahatan trafiking. Bidang garapan yang diimplementasikan mencakup perlindungan dengan mewujudkan norma hukum terhadap pelaku traflking, rehabilitasi din reintegrasi sosial bagi korban trafiking serta kerja sama dan koordinasi dalam penanggulangan trafiking. Produk hukum yang paling menonjol dalam upaya perlindungan terhadap anak yang belum tersosialisasi dengan baik adalah adanya 5 (lima) UU yang mengatur tentang anak, yaitu : (a) UU No.4 tahun 1979 tentang kesejahteraan anak; (b) UU No.3 tahun 1997 tentang Pengadilan anak; (c) UU No.20 tahun 1999 tentang pengesahan Konvensi ILO No.138 mengenai usia minimum untuk diperbolehkan bekerja; (d) UU No.1 tahun 2000 tentang pengesahan Konvensi ILO No.182 mengenai Pelarangan dan Tindakan segera penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak; dan (e) UU No.23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak; disamping Undang-undang tersebut terdapat Keputusan Presiden No.36 tahun 1990 tentang Ratifikasi Konvensi Hak Anak tahun 1986.
Dari kelima UU tersebut secara umum dapat dikatakan, bahwa secara kuantitatif sudah cukup banyak Peraturan perundangan yang memberikan Perlindungan kepada anak yang sejalan dengan UU No.39 tahun 1999 tentang HAM. Secara kuantitatif keberadaan Undang-undang yang memberikan Perlindungan kepada anak sudah cukup banyak, tetapi dalam implementasi Peraturan Perundang-undangan tersebut belum sepenuhnya dapat dilaksanakan. Hal ini disebabkan antara lain: (a) Pembentukan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) yang didasarkan pada UU No.23/2002 tentang Perlindungan Anak masih belum terwujud; (b) Upaya penegakan hukum (Law Enforcement) masih mengalami kesulitan; (c) Harmonisasi berbagai UU yang memberikan perlindungan kepada anak dihadapkan pada berbagai hambatan; dan (d) Sosialisasi Peraturan perundang-undangan kepada masyarakat belum sepenuhnya dapat dilakukan dengan baik.
BAB III
PENUTUP
1. KESIMPULAN
Melihat berbagai perangkat peraturan perundang-undangan diatas sebenarnya sudah cukup memadai untuk menyelesaikan persoalan. Pemenuhan dan perlindungan HAM terhadap anak, kelompok perempuan rentan, penyandang cacat dan kelompok minoritas belum sepenuhnya tertangani dengan baik. Hal ini disebabkan anatara lain penegakan hukum dan implementasi atas perangkat hukum yang masih ada belum maksimal disamping penyebarluasan informasi (sosialisasi) terhadap perangkat perundangan tersebut belum dilakukan ke seluruh lapisan masyarakat. Kelemahan penegakan hukum dapat disebabkan karena peraturan perundangundangan kurang responsif dan aspiratif terhadap kebutuhan perlindungan dan pemenuhan HAM. Hal ini merupakan akibat kurangnya penelitian yang seksama sebelum disusun suatu rancangan peraturan perundang-undangan. Berbagai bukti empiris menunjukan bahwa masih dijumpai keadaan dari kelompok rentan yang belum sesuai dengan kondisi yang diharapkan. Upaya perlindungan guna mencapai pemenuhan hak kelompok rentan telah banyak dilakukan Pemerintah bersama masyarakat, namun masih dihadapkan pada beberapa kendala yang antara lain berupa: kurangnya koordinasi antar instansi pemerintah, belum terlaksananya sosialisasi dengan baik, dan kemiskinan yang masih dialami masyarakat.
Anak Anak memiliki posisi dan peran sosial penting sebagai bagian dari anggota masyarakat. Masalah anak yang berkembang di masyarakat masih dianggap menjadi tanggungjawab orang tua, karena anak tidak berdaya, lemah, dan polos. Anak hampir selalu menjadi pihak yang dirugikan. Namun. di lain pihak ada pandangan positif dari masyarakat yang menunjukkan bahwa anak adalah penerus keturunan yang dapat mengangkat status sosial dan ekonomi orang tua. Sehingga orang tua berusaha memenuhi kebutuhan anak. Walaupun anak semula dipandang sebagai beban ekonomi, tetapi karena keberhasilan anak akan mengangkat derajat orang tua, maka orang tua akan mengusahakan apa saja agar masa depan anak lebih baik dari mereka. Akibatnya ketergantungan anak terhadap orang tua tinggi yang mengakibatkan kemandirian anak berkurang. Sedangkan pandangan negatif masyarakat menunjukan bahwa anak adalah seorang yang dapat dijadikan sarana mencari nafkah. Akibatnya anak dipaksa bekerja dan tidak dapat sekolah, menjadi anak jalanant, terlantar dan tidak dapat tumbuh wajar.
2. SARAN
Perlu dibangun kesadaran hukum masyarakat terhadap perlindungan anak mengingat anak adalah aset bangsa yang sangat tinggi nilainya, denganPerlindungan Hukum … instansi pemerintah yang berwenang dengan meningkatkan pelaksanaan peraturan perundang-undangan guna meningkatkan pemenuhan dan perlindungan HAM bagi kelompok rentan. Dipandang mendesak untuk melakukan harmonisasi peraturan perundangundangan yang menyangkut hak-hak kelompok rentan dengan mengakomodasikan perspektif HAM dalam peraturan perundang-undangan. Perlu peningkatan penyuluhan hukum dan HAM kepada aparatur pemerintah yang menangani masalah kelompok rentan dan kelompok-kelompok strategis lainnya, seperti pemuka masyarakat, tokoh-tokoh agama dan Lmbaga Swadaya Masyarakat (LSM). Disarankan agar suatu peraturan perundang-undangan lahir dari proses penelitian aspirasi, kondisi dan kebutuhan yang ada dan berkembang dalam masyarakat.
Semarang, 25 Juni 2011
Penyusun
DAFTAR PUSTAKA
Achie Sudiarti Luhulima. 2000. Pemahaman Bentuk – bentuk Tindak Kekerasan terhadap anak dan Alternatif Pemecahannya. Jakarta: Convention Watch.
George Ritzer, DouglassJ. Goodman. 2004. “Teori Sosiologi Modern” Alih Bahasa Alimandan. Jakarta: Prenada Media.
Satjipto Rahardjo. tt. Penegakan Hukum (Suatu Tinjauan Sosiologis). Jakarta: Sinar Baru.
Supeno Hadi. 2010. Kriminalisasi Anak Tawaran Gagasan Radikal Peradilan Anak Tanpa Pemidanaan. Jakarta: gramedia utama jakrta
UU. No. 23 Tahun 2000. tentang Perlindungan Anak
Tidak ada komentar:
Posting Komentar