KELUARGA ASUH YUDISTIRA
(CLAN YUDHISTIRA)
DEN 44 WIRATAMA BHAYANGKARA
AKPOL
Keluarga asuh yudistira (clan Yudhistira) merupakan salah satu dari beberapa keluarga asuh yang terdapat di resimen taruna. keluarga asuh "yudistira" detasemen "wiratama bhayangkara" angkatan 44 akpol menamakan dirinya clan yudhistira. clan yudhistira den 44 wiratama bhayangkara terdiri dari:
BST. Arham Gusdiar,
BST. Arham Gusdiar,
BST. Feterizal,
BST. Jodi indrawan,
BST. Ignatius Excel,
BST. Giadi Nugraha
BST. Syuaib Abdullah,
BST. Sophian ramadhianto,
BST. Sidik Hadi suwito,
BST. Arya Nusa, BST. Luhur fachri,
BST. Navy Pradana,
BST. Dian trisusilowaty &
BST. Sisca Agustina
Pengambilan nama "yudistira" sebagai sebutan keluarga asuh yang sudah ada sejak lama di resimen taruna ini bukannya tanpa alsan, dengan melihat sosok yudistira yang digambarkan dari catatan sejarah sangsekerta maka pantaslah pengambilan nama "yudistira" sebagai salah satu sebutan nama keluarga asuh di resimen taruna Akpol. berikut ini catatn tentang sosok yudistira:
Tentang Yudistira
Yudistira
युधिष्ठिर
| |
| |
Tokoh dalam mitologi Hindu
| |
Nama:
|
Yudistira
|
Nama lain:
|
Bharata; Ajatasatru;
Dharmaraja; Samiaji; Puntadewa; Dharmawangsa; Dharmaputra; Dharmasuta; Dwijakangka, dan lain-lain |
Aksara Dewanagari:
|
युधिष्ठिर
|
Ejaan Sanskerta:
|
Yudhiṣṭhira
|
Asal:
| |
Senjata:
|
Tombak
|
Pasangan:
|
Dropadi, Dewika
|
Yudistira (Sanskerta: युधिष्ठिर; Yudhiṣṭhira) alias Dharmawangsa, adalah salah satu tokoh protagonis
dalam wiracarita Mahabharata. Ia merupakan seorang raja yang
memerintah kerajaan Kuru, dengan pusat pemerintahan di Hastinapura. Ia merupakan yang tertua di antara
lima Pandawa, atau para putera Pandu.
Dalam tradisi pewayangan, Yudistira diberi gelar "Prabu" dan memiliki julukan Puntadewa, sedangkan kerajaannya disebut dengan
nama Kerajaan Amarta.
Arti nama
Nama Yudistira dalam bahasa Sanskerta bermakna "teguh atau kokoh dalam
peperangan". Ia juga dikenal dengan sebutan Dharmaraja, yang bermakna "raja Dharma", karena ia selalu berusaha
menegakkan dharma sepanjang hidupnya.
Beberapa
julukan lain yang dimiliki Yudhisthira adalah:
§
Ajataśatru, "yang tidak memiliki musuh".
Beberapa di
antara nama-nama di atas juga dipakai oleh tokoh-tokoh Dinasti Kuru lainnya,
misalnya Arjuna, Bisma, dan Duryodana. Selain nama-nama di atas, dalam versi
pewayangan Jawa masih terdapat beberapa nama atau julukan yang lain lagi untuk
Yudistira, misalnya:
§
Yudistira, "pandai memerangi nafsu pribadi".
§
Gunatalikrama, "pandai bertutur bahasa".
§
Samiaji, "menghormati orang lain bagai diri sendiri".
Sifat dan
kesaktian
Sifat-sifat Yudistira tercermin dalam nama-nama
julukannya, sebagaimana telah disebutkan di atas. Sifatnya yang paling menonjol
adalah adil, sabar, jujur, taat terhadap ajaran agama, penuh percaya diri, dan berani
berspekulasi. Kesaktian Yudistira dalam Mahabharata terutama dalam hal memainkan senjata tombak. Sementara itu, versipewayangan Jawa lebih menekankan pada kesaktian batin,
misalnya ia pernah dikisahkan menjinakkan hewan-hewan buas di hutan Wanamarta
dengan hanya meraba kepala mereka.
Yudistira dalam pewayangan beberapa pusaka, antara lain Jamus Kalimasada, Tunggulnaga, dan Robyong Mustikawarih. Kalimasada
berupa kitab, sedangkan Tunggulnaga berupa payung. Keduanya menjadi pusaka utamakerajaan Amarta. Sementara itu, Robyong Mustikawarih
berwujud kalung yang terdapat di dalam kulit Yudistira.
Pusaka ini adalah pemberian Gandamana, yaitu patih kerajaan Hastina pada zaman pemerintahan Pandu. Apabila kesabaran Yudistira sampai
pada batasnya, ia pun meraba kalung tersebut dan seketika itu pula ia pun
berubah menjadi raksasa besar berkulit putih bersih.
Sifat dan
kesaktian
Sifat-sifat Yudistira tercermin dalam nama-nama
julukannya, sebagaimana telah disebutkan di atas. Sifatnya yang paling menonjol
adalah adil, sabar, jujur, taat terhadap ajaran agama, penuh percaya diri, dan berani berspekulasi.
Kesaktian Yudistira dalam Mahabharata terutama dalam hal memainkan senjata tombak. Sementara itu, versipewayangan Jawa lebih menekankan pada kesaktian batin,
misalnya ia pernah dikisahkan menjinakkan hewan-hewan buas di hutan Wanamarta
dengan hanya meraba kepala mereka.
Yudistira dalam pewayangan beberapa pusaka, antara lain Jamus Kalimasada, Tunggulnaga, dan Robyong Mustikawarih. Kalimasada
berupa kitab, sedangkan Tunggulnaga berupa payung. Keduanya menjadi pusaka utamakerajaan Amarta. Sementara itu, Robyong Mustikawarih
berwujud kalung yang terdapat di dalam kulit Yudistira.
Pusaka ini adalah pemberian Gandamana, yaitu patih kerajaan Hastina pada zaman pemerintahan Pandu. Apabila kesabaran Yudistira sampai
pada batasnya, ia pun meraba kalung tersebut dan seketika itu pula ia pun
berubah menjadi raksasa besar berkulit putih bersih.
Kelahiran
Yudistira adalah putera tertua pasangan Pandu dan Kunti. Kitab Mahabharata bagian pertama atau Adiparwamengisahkan tentang kutukan yang
dialami Pandu setelah membunuh brahmana bernama Resi Kindama tanpa sengaja.
Brahmana itu terkena panah Pandu ketika ia dan istrinya sedang bersanggama dalam wujud sepasangrusa. Menjelang ajalnya tiba, Resi Kindama
sempat mengutuk Pandu bahwa kelak ia akan mati ketika mengawini istrinya.
Dengan penuh penyesalan, Pandu meninggalkan tahta Hastinapura dan memulai hidup sebagai pertapa di
hutan demi untuk mengurangi hawa nafsu. Kedua istrinya, yaitu Kunti dan Madri dengan setia mengikutinya.
Pada suatu hari, Pandu mengutarakan niatnya ingin
memiliki anak. Kunti yang menguasai mantra Adityahredayasegera mewujudkan keinginan suaminya
itu. Mantra tersebut adalah ilmu pemanggil dewa untuk mendapatkan putera. Dengan
menggunakan mantra itu, Kunti berhasil mendatangkan Dewa Dharma dan mendapatkan anugerah putera darinya
tanpa melalui persetubuhan. Putera pertama itu diberi nama
Yudistira. Dengan demikian, Yudistira menjadi putera sulung Pandu, sebagai hasil pemberian Dharma, yaitu dewa keadilan dan
kebijaksanaan. Sifat Dharma itulah yang kemudian diwarisi oleh Yudistira
sepanjang hidupnya.
Versi pewayangan Jawa
Kisah dalam pewayangan Jawa agak berbeda. Menurut versi ini,
Puntadewa merupakan anak kandung Pandu yang lahir di istana Hastinapura. Kedatangan Bhatara Dharma hanya sekadar menolong kelahiran
Puntadewa dan memberi restu untuknya. Berkat bantuan dewa tersebut, Puntadewa
lahir melalui ubun-ubun Kunti. Dalam pewayangan Jawa, nama Puntadewa
lebih sering dipakai, sedangkan nama Yudistira baru digunakan setelah ia dewasa
dan menjadi raja. Versi ini melukiskan Puntadewa sebagai seorang manusia
berdarah putih, yang merupakan kiasan bahwa ia adalah sosok berhati suci dan
selalu menegakkan kebenaran.
kecil dan
pendidikan
Yudistira dan keempat adiknya, yaitu Bima (Bimasena), Arjuna, Nakula, dan Sadewa kembali ke Hastinapura setelah ayah mereka (Pandu) meninggal dunia. Adapun kelima putera
Pandu itu terkenal dengan sebutan para Pandawa, yang semua lahir melalui mantra Adityahredaya. Kedatangan para Pandawa membuat
sepupu mereka, yaitu para Korawa yang dipimpinDuryodana merasa cemas. Putera-putera Dretarastra itu takut kalau Pandawa sampai berkuasa
di kerajaan Kuru. Dengan berbagai cara mereka berusaha menyingkirkan kelima
Pandawa, terutama Bima yang dianggap paling kuat. Di lain pihak, Yudistira
selalu berusaha untuk menyabarkan Bima supaya tidak membalas perbuatan para
Korawa.
Pandawa dan Korawa kemudian mempelajari ilmu agama, hukum, dan tata negara kepadaResi Krepa. Dalam pendidikan tersebut, Yudistira
tampil sebagai murid yang paling pandai. Krepa sangat mendukung apabila tahta
Hastinapura diserahkan kepada Pandawa tertua itu. Setelah itu, Pandawa dan
Korawa berguru ilmu perang kepada Resi Drona. Dalam pendidikan kedua ini, Arjuna tampil sebagai murid yang paling
pandai, terutama dalam ilmu memanah. Sementara itu, Yudistira sendiri
lebih terampil dalam menggunakan senjata tombak.
Konflik
memperebutkan kerajaan
Selama Pandu hidup di hutan sampai akhirnya
meninggal dunia, tahta Hastinapura untuk sementara dipegang oleh kakaknya,
yaituDretarastra, ayah para Korawa. Ketika Yudistira menginjak usia
dewasa, sudah tiba saatnya bagi Dretarastra untuk menyerahkan tahta kepada
Yudhisthira, selaku putera sulung Pandu. Sementara itu putera sulung
Dretarastra, yaitu Duryodana berusaha keras merebut tahta dan
menyingkirkan Pandawa. Dengan bantuan pamannya dari pihak
ibu, yaitu Sangkuni, Duryodana pura-pura menjamu kelima
sepupunya itu dalam sebuah gedung di Waranawata, dimana gedung itu terbuat dari
bahan yang mudah terbakar.
Ketika malam tiba, para Korawa membakar gedung tempat para Pandawa dan Kunti, ibu mereka, tidur. Namun, Yudistira
sudah mempersiapkan diri karena rencana pembunuhan itu telah terdengar oleh
pamannya, yaitu Widura adik Pandu. Akibatnya, kelima Pandawa
dan Kunti berhasil lolos dari maut. Pandawa dan Kunti kemudian menjalani
berbagai pengalaman sulit.
Pernikahan
dengan Dropadi
Setelah lolos dari jebakan maut Korawa, para Pandawa dan Kunti pergi
melintasi kota Ekachakra, lalu tinggal sementara di kerajaan Panchala. Arjuna berhasil memenangkan sayembara di kerajaan tersebut dan memperoleh
seorang puteri cantik yang bernama Dropadi. Tanpa sengaja Kunti memerintahkan
agar Dropadi dibagi lima. Akibatnya, Dropadi pun menjadi istri kelima Pandawa.
Dari perkawinan dengan Yudistira, Dropadi melahirkan
Pratiwindya, dari Bima lahir Sutasoma, dari Arjuna lahir Srutasena, dari Nakula lahir Satanika, dan dari Sadewa lahir Srutakirti.
Versi Jawa menyebut Dropadi dengan nama
"Drupadi". Menurut pewayangan Jawa, setelah memenangkan sayembara,
Arjuna menyerahkan putri itu kepada Puntadewa selaku kakak tertua. Semula
Puntadewa menolak, namun setelah didesak oleh ibu dan keempat adiknya, akhirnya
ia pun bersedia menikahi Drupadi. Dari perkawinan itu lahir seorang putera
bernama Pancawala. Jadi, menurut versi asli, tokohDropadi menikah dengan kelima Pandawa, sedangkan menurut versi Jawa, ia hanya menikah dengan Yudistira
seorang.
Raja Indraprastha
Setelah menikahi Dropadi, para Pandawa kembali ke Hastinapura dan memperoleh sambutan luar biasa,
kecuali dari pihak Duryodana. Persaingan antara Pandawa dan Korawa
atas tahta Hastinapura kembali terjadi. Para sesepuh akhirnya sepakat untuk
memberi Pandawa sebagian dari wilayah kerajaan tersebut.
Korawa yang licik mendapatkan istana Hastinapura,
sedangkan Pandawa mendapatkan hutan Kandawaprastha sebagai tempat untuk
membangun istana baru. Meskipun daerah tersebut sangat gersang dan angker,
namun para Pandawa mau menerima wilayah tersebut. Selain wilayahnya yang seluas
hampir setengah wilayah kerajaan Kuru, Kandawaprastha juga merupakan ibukota
kerajaan Kuru yang dulu, sebelum Hastinapura. Para Pandawa dibantu sepupu mereka,
yaitu Kresna dan Baladewa, dan berhasil membuka Kandawaprastha
menjadi pemukiman baru.
Para Pandawa kemudian memperoleh bantuan dari Wiswakarma, yaitu ahli bangunan dari kahyangan, dan juga
Anggaraparna dari bangsaGandharwa. Maka terciptalah sebuah istana megah
dan indah bernama Indraprastha, yang bermakna "kota Dewa
Indra".
Pemerintahan Yudistira versi pewayangan
Jawa
Pembangunan kerajaan Amarta
Dalam versi pewayangan Jawa, nama Indraprastha lebih terkenal dengan sebutankerajaan Amarta. Menurut versi ini, hutan yang dibuka
para Pandawa bukan bernama Kandawaprastha, melainkan
bernama Wanamarta.
Versi Jawa mengisahkan, setelah sayembara Dropadi, para Pandawa tidak kembali keHastinapura melainkan menuju kerajaan Wirata, tempat kerabat mereka yang bernama
Prabu Matsyapati berkuasa. Matsyapati yang bersimpati
pada pengalaman Pandawa menyarankan agar mereka membuka kawasan hutan tak
bertuan bernama Wanamarta menjadi sebuah kerajaan baru. Hutan Wanamarta dihuni
oleh berbagai makhluk halus yang dipimpin oleh lima bersaudara, bernama
Yudistira, Danduncana, Suparta, Sapujagad, dan Sapulebu. Pekerjaan Pandawa
dalam membuka hutan tersebut mengalami banyak rintangan. Akhirnya setelah
melalui suatu percakapan, para makhluk halus merelakan Wanamarta kepada para Pandawa.
Yudistira kemudian memindahkan istana Amarta dari alam jin ke alam nyata untuk dihuni para Pandawa. Setelah itu, ia dan keempat adiknya
menghilang. Salah satu versi menyebut kelimanya masing-masing menyatu ke dalam
diri lima Pandawa. Puntadewa kemudian menjadi Raja Amarta setelah didesak dan
dipaksa oleh keempat adiknya. Untuk mengenang dan menghormati raja jin yang
telah memberinya istana, Puntadewa pun memakai gelar Prabu Yudistira.
Anugerah Ketentraman
Setelah menjadi Raja Amarta, Puntadewa berusaha keras untuk
memakmurkan negaranya. Konon terdengar berita bahwa barang siapa yang bisa
menikahi puteri Kerajaan Slagahima yang bernama Dewi Kuntulwinanten, maka
negeri tempat ia tinggal akan menjadi makmur dan sejahtera. Puntadewa sendiri
telah memutuskan untuk memiliki seorang istri saja. Namun karena Dropadimengizinkannya menikah lagi demi
kemakmuran negara, maka ia pun berangkat menuju Kerajaan Slagahima. Di istana
Slagahima telah berkumpul sekian banyak raja dan pangeran yang datang melamar
Kuntulwinanten. Namun sang puteri hanya sudi menikah dengan seseorang yang
berhati suci, dan ia menemukan kriteria itu dalam diri Puntadewa. Kemudian
Kuntulwinanten tiba-tiba musnah dan menyatu ke dalam diri Puntadewa. Sebenarnya
Kuntulwinanten bukan manusia asli, melainkan wujud penjelmaan anugerah dewata
untuk seorang raja adil yang hanya memikirkan kesejahteraan negaranya.
Sedangkan anak raja Slagahima yang asli bernama Tambakganggeng. Ia kemudian
mengabdi kepada Puntadewa dan diangkat sebagai patih di kerajaan Amarta.
Upacara
Rajasuya
Kitab Mahabharata bagian kedua atau Sabhaparwa mengisahkan niat Yudistira untuk
menyelenggarakan upacara Rajasuya demi menyebarkan dharma dan menyingkirkan raja-raja angkara
murka. Bima, Arjuna, Nakula, dan Sadewa memimpin tentara masing-masing ke empat
penjuru Bharatawarsha (India Kuno) untuk mengumpulkan upeti
dalam penyelenggaraan upacara agung tersebut.
Pada saat yang sama, seorang raja angkara murka juga
mengadakan upacara mengorbankan seratus orang raja. Raja tersebut bernamaJarasanda dari kerajaan Magadha. Yudistira mengirim Bima dan Arjuna
dengan didampingi Kresna sebagai penasihat untuk menumpas
Jarasanda. Akhirnya, melalui sebuah pertandingan seru, Bima berhasil membunuh
Jarasanda.
Setelah semua persyaratan terpenuhi, Yudistira
melaksanakan upacara Rajasuya yang dihadiri sekian banyak kaum raja dan
pendeta. Dalam kesempatan itu, Yudistira ditetapkan sebagai Maharajadhiraja. Kemudian muncul seorang sekutu
Jarasanda bernama Sisupala yang menghina Kresna di depan umum.
Setelah melewati penghinaan ke-100, Krishna akhirnya memenggal kepala Sisupala
di depan umum.
Kehilangan
kerajaan
Ketika menjadi tamu dalam acara Rajasuya, Duryodana sangat kagum sekaligus iri menyaksikan
keindahan istana Indraprastha. Timbul niatnya untuk merebut kerajaan
itu, apalagi setelah ia tersinggung oleh ucapanDropadi dalam sebuah pertemuan. Sangkuni membantu niat Duryodhana dengan
memanfaatkan kegemaran Yudistira terhadap permainan dadu. Yudistira memang seorang ahli agama, namun di sisi lain ia sangat menyukai
permainan tersebut. Undangan Duryodana diterimanya dengan baik. Permainan dadu
antara Pandawa melawan Korawa diadakan di istana Hastinapura. Mula-mula Yudistira hanya bertaruh
kecil-kecilan. Namun semuanya jatuh ke tangan Duryodana berkat kepandaian
Sakuni dalam melempar dadu.
Hasutan Sangkuni membuat Yudistira nekad mempertaruhkan
semua hartanya, bahkan Indraprastha. Akhirnya, negeri yang dibangun dengan
susah payah itu pun jatuh ke tangan lawan. Yudistira yang sudah gelap mata juga
mempertaruhkan keempat adiknya secara berurutan. Keempatnya pun jatuh pula ke
tangan Duryodana satu per satu, bahkan akhirnya Yudistira sendiri. Duryodana
tetap memaksa Yudistira yang sudah kehilangan kemerdekaannya untuk melanjutkan
permainan, dengan mempertaruhkan Dropadi. Akibatnya, Dropadi pun ikut bernasib
sama.
Ratapan Dropadi saat dipermalukan di depan umum terdengar
olehGandari, ibu para Korawa. Ia memerintahkan agar Duryodana
menghentikan permainan dan mengembalikan semuanya kepada Pandawa. Dengan berat hati, Duryodhana
terpaksa mematuhi perintah ibunya itu. Duryodana yang kecewa kembali menantang
Yudistira beberapa waktu kemudian. Kali ini peraturannya diganti. Barang siapa
yang kalah harus menyerahkan negara beserta isinya, dan menjalani hidup di
hutan selama 12 tahun serta menyamar selama setahun di dalam sebuah kerajaan.
Apabila penyamaran itu terbongkar, maka wajib mengulangi lagi pembuangan selama
12 tahun dan menyamar setahun, begitulah seterusnya. Akhirnya berkat kelicikan
Sakuni, pihak Pandawa pun mengalami kekalahan untuk yang kedua kalinya. Sejak
saat itu lima Pandawa dan Dropadi menjalani masa pembuangan mereka di hutan.
Kehidupan dalam
Pembuangan
Kehidupan para Pandawa dan Dropadi dalam menjalani masa pembuangan selama
12 tahun di hutan dikisahkan pada jilid ketiga kitabMahabharata yang dikenal dengan sebutan Wanaparwa.
Yudistira yang merasa paling bertanggung jawab atas apa
yang menimpa keluarga dan negaranya berusaha untuk tetap tabah dalam menjalani
hukuman. Ia sering berselisih paham dengan Bima yang ingin kembali ke Hastinapura untuk menumpas para Korawa. Meskipun demikian, Bima tetap tunduk
dan patuh terhadap perintah Yudistira supaya menjalani hukuman sesuai
perjanjian.
Suatu ketika para Korawa datang ke dalam hutan untuk
berpesta demi menyiksa perasaan para Pandawa. Namun, mereka justru berselisih
dengan kaum Gandharwa yang dipimpin Citrasena. Dalam peristiwa itu Duryodana tertangkap oleh Citrasena. Akan tetapi,
Yudistira justru mengirim Bima dan Arjuna untuk menolong Duryodana. Ia
mengancam akan berangkat sendiri apabila kedua adiknya itu menolak perintah.
Akhirnya kedua Pandawa itu berhasil membebaskan Duryodana. Niat Duryodana
datang ke hutan untuk menyiksa perasaan para Pandawa justru berakhir dengan
rasa malu luar biasa yang ia rasakan.
Peristiwa lain yang terjadi adalah penculikan Dropadi oleh Jayadrata, adik ipar Duryodana. Bima dan Arjuna
berhasil menangkap Jayadrata dan hampir saja membunuhnya. Yudistira muncul dan
memaafkan raja kerajaan Sindu tersebut.
Peristiwa Telaga Beracun & Dharma
Prashna
Pada suatu hari menjelang berakhirnya masa pembuangan,
Yudistira dan keempat adiknya membantu seorang brahmana yang kehilangan peralatan upacaranya
karena tersangkut pada tanduk seekor rusa liar. Dalam pengejaran terhadap rusa
itu, kelima Pandawa merasa haus. Yudistira pun menyuruh Sadewa mencari air minum. Karena lama tidak
kembali, Nakula disuruh menyusul, kemudian Arjuna, lalu akhirnyaBima menyusul pula. Yudistira semakin cemas
karena keempat adiknya tidak ada yang kembali.
Yudistira kemudian berangkat menyusul Pandawa dan
menjumpai mereka telah tewas di tepi sebuah telaga. Ada seekor bangau (Baka) yang mengaku
sebagai pemilik telaga itu. Ia menceritakan bahwa keempat Pandawa tewas
keracunan air telaganya karena mereka menolak menjawab pertanyaan darinya. Sambil
menahan haus, Yudistira mempersilakan Sang bangau untuk bertanya. Sang bangau
lalu berubah wujud menjadi Yaksa. Satu per satu pertanyaan demi
pertanyaan berhasil ia jawab. Inilah sebagian pertanyaan yang diajukan Yaksa
pada Yudistira:
Yaksa: Apa yang lebih berat daripada Bumi, lebih luhur
daripada langit, lebih cepat daripada angin dan lebih berjumlah banyak daripada
gundukan jerami?
Yudhishthira: Sang Ibu lebih berat daripada Bumi, Sang
Ayah lebih luhur daripada langit, Pikiran lebih cepat daripada angin dan
kekhawatiran kita lebih berjumlah banyak daripada gundukan jerami.
Yaksa: Siapakah kawan dari seorang musafir? Siapakah
kawan dari seorang pesakitan dan seorang sekarat?
Yudhishthira: Kawan dari seorang musafir adalah
pendampingnya. Tabib adalah kawan seorang yang sakit dan kawan seorang sekarat
adalah amal.
Yaksa: Hal apakah yang jika ditinggalkan membuat
seseorang dicintai, bahagia dan kaya?
Yudhishthira: Keangkuhan, bila ditinggalkan membuat
seseorang dicintai. Hasrat, bila ditinggalkan membuat seseorang kaya dan
keserakahan, bila ditinggalkan membuat seseorang bahagia.
Yaksa: Musuh apakah yang tidak terlihat? Penyakit apa
yang tidak bisa disembuhkan? Manusia macam apa yang mulia dan hina?
Yudhishthira: Kemarahan adalah musuh yang tidak terlihat.
Ketidakpuasan adalah penyakit yang tidak bisa disembuhkan. Manusia mulia adalah
yang mengharapkan kebaikan untuk semua makhluk dan Manusia hina adalah yang
tidak mengenal pengampunan.
Yaksa: Siapakah yang benar-benar berbahagia? Apakah
keajaiban terbesar? Apa jalannya? Dan apa beritanya?
Yudhishthira: Seorang yang tidak punya hutang adalah
benar-benar berbahagia. Hari demi hari tak terhitung orang meninggal. Namun
yang masih hidup berharap untuk hidup selamanya. Ya Tuhan, keajaiban apa yang
lebih besar? Perbedaan pendapat membawa pada kesimpulan yang tidak pasti,
Antara Śruti saling berbeda satu sama lain, bahkan
tidak ada seorang Resi yang pemikirannya bisa diterima oleh
semua. Kebenaran Dharma dan tugas, tersembunyi dalam gua-gua hati kita. Karena
itu kesendirian adalah jalan dimana terdapat yang besar dan kecil. Dunia yang
dipenuhi kebodohan ini layaknya sebuah wajan. Matahari adalah apinya, hari dan
malam adalah bahan bakarnya. Bulan-bulan dan musim-musim merupakan sendok
kayunya. Waktu adalah Koki yang memasak semua makhluk dalam wajan itu (dengan
berbagai bantuan seperti itu). Inilah beritanya.
Akhirnya, Yaksa pun mengaku kalah, namun ia hanya sanggup
menghidupkan satu orang saja. Dalam hal ini, Yudistira memilih Nakula untuk
dihidupkan kembali. Yaksa heran karena Nakula adalah adik tiri, bukan adik
kandung. Yudistira menjawab bahwa dirinya harus berlaku adil. Ayahnya, yaitu Pandu memiliki dua orang istri. Karena
Yudistira lahir dari Kunti, maka yang dipilihnya untuk hidup
kembali harus putera yang lahir dari Madri, yaitu Nakula.
Yaksa terkesan pada keadilan Yudistira. Ia pun kembali ke
wujud aslinya, yaitu Dewa Dharma. Kedatangannya dengan menyamar sebagai
rusa liar dan yaksa adalah untuk memberikan ujian kepada para Pandawa. Berkat
keadilan dan ketulusan Yudistira, maka tidak hanya Nakula yang dihidupkan
kembali, melainkan juga Bima, Arjuna, dan Sadewa.
Yudistira dalam
masa penyamaran
Setelah 12 tahun menjalani pembuangan di hutan, kelima Pandawa dan Dropadi kemudian memasuki masa penyamaran
selama setahun. Sebagai tempat persembunyian, mereka memilih Kerajaan Matsya yang dipimpin oleh Wirata. Kisah ini terdapat dalam kitab Mahabharatajilid keempat atau Wirataparwa.
Yudistira menyamar dengan nama Kanka di mana ia diterima
sebagai kusir kereta Raja Wirata. Bima menjadi Balawa sebagai tukang
masak, Arjuna menjadi Wrihanala sebagai banci guru tari, Nakula menjadi
Damagranti sebagai tukang kuda, Sadewa menjadi Tantripala sebagai penggembala sapi,
sedangkan Dropadi menjadi Sailandri sebagai dayang istana.
Pada akhir tahun penyamaran Pandawa, terjadi peristiwa
serangan kerajaan Kuru terhadap kekuasaan Wirata. Seluruh kekuatan kerajaan Matsya dikerahkan menghadapi tentara kerajaan Trigartha, sekutu Duryodhana. Akibatnya, istana Matsya menjadi
kosong dan dalam keadaan terancam oleh serangan pasukan Hastinapura. Utara putera Wirata yang ditugasi menjaga istana, berangkat
ditemani Wrihanala (Arjuna) sebagai kusir. Di medan perang
Wrihanala membuka samaran dan tampil menghadapi pasukan Duryodana sebagai
Arjuna. Seorang diri ia berhasil memukul mundur pasukan dari Hastinapura
tersebut. Sementara itu, pasukan Wirata juga mendapat kemenangan atas pasukan
Trigartha. Wirata dengan bangga memuji-muji kehebatan Utara yang berhasil
mengalahkan para Korawa seorang diri. Kanka alias Yudistira
menjelaskan bahwa kunci kemenangan Utara adalah Wrihanala. Hal itu membuat
Wirata tersinggung dan memukul kepala Kanka sampai berdarah.
Dalam versi pewayangan Jawa, Wirata adalah nama kerajaan,
bukan nama orang. Sedangkan rajanya bernama Matsyapati. Dalam kerajaan tersebut, Yudistira atau Puntadewa
menyamar sebagai pengelola pasar ibu kota bernama Dwijakangka.
Saat batas waktu penyamaran telah genap setahun, kelima Pandawa dan Dropadi pun membuka penyamaran. Mengetahui hal
itu, Wiratamerasa sangat menyesal telah
memperlakukan mereka dengan buruk. Ia pun berjanji akan menjadi sekutu Pandawa
dalam usaha mendapatkan kembali takhta Indraprastha.
Yudistira saat
Bharatayuddha
Ketika para Pandawa pulang ke Hastinapura demi menuntut hak yang seharusnya
mereka terima, Duryodana bersikap sinis terhadap mereka. Ia
tidak mau menyerahkan Hastinapura kepada Yudistira. Berbagai usaha damai
dilancarkan pihak Pandawa namun selalu ditolak oleh Duryodana. Bahkan, Duryodana tetap menolak
ketika Yudistira hanya meminta lima buah desa saja, bukan seluruh Indraprastha.
Pada puncaknya, Duryodana berusaha membunuh duta Pandawa, yaitu Kresna, namun gagal.
Perang
di Kurukshetra antara Pandawa dan Korawa tidak dapat lagi dihindari.
Para pujangga Jawa menyebut peristiwa itu dengan namaBharatayuddha. Sementara itu dalam Mahabharata kisah perang besar tersebut ditemukan
pada jilid keenam sampai kesepuluh.
Awal pertempuran
Pada bagian Bhismaparwa dikisahkan bahwa sebelum perang hari pertama
dimulai, Yudistira turun dari keretanya berjalan kaki ke arah pasukan Korawa
yang berbaris di hadapannya. Duryodana mengejeknya sebagai pengecut yang
langsung menyerah begitu melihat kekuatan Korawa dan sekutu mereka. Namun,
kedatangan Yudistira bukan untuk menyerah, melainkan meminta doa restu kepada
empat sesepuh yang berperang di pihak lawan. Mereka adalah Bisma, Krepa, Drona, dan Salya. Keempatnya mendoakan semoga pihak
Pandawa menang. Hal itu tentu saja membuat Duryodana sakit hati.
Yudistira kembali ke pasukannya. Ia mempersilakan siapa
saja yang ingin pindah pasukan sebelum perang benar-benar dimulai. Ternyata
yang pindah justru adik tiri Duryodhana yang lahir dari selir, bernama Yuyutsu, yang bergerak meninggalkan Korawa
untuk bergabung bersama Pandawa.
Pertempuran melawan Drona
Bisma memimpin pasukan Korawa selama sepuluh hari. Setelah ia
tumbang, kedudukannya digantikan oleh Drona, yang mendapat amanat dari Duryodana supaya menangkap Yudistira hidup-hidup.
Drona senang atas tugas tersebut, padahal niat Duryodana adalah menjadikan
Yudistira sebagai sandera untuk memaksa para pendukungnya menyerah. Berbagai
cara dilancarkan Drona untuk menangkap Yudistira. Tidak terhitung banyaknya
sekutu Pandawa yang tewas di tangan Drona karena melindungi Yudistira, misalnya Drupada dan Wirata.
Akhirnya pada hari ke-15, penasihat Pandawa, yaitu Kresna menemukan cara untuk mengalahkan Drona,
yaitu dengan mengumumkan berita kematian seekor gajah bernama Aswatama. Aswatama juga merupakan nama putera
tunggal Drona. Kemiripan nama tersebut dimanfaatkan oleh Kresna untuk menipu
Drona. Atas perintah Kresna, Bima segera membunuh gajah itu dan berteriak
mengumumkan kematiannya. Drona cemas mendengar berita kematian Aswatama. Ia
segera mendatangi Yudistira yang dianggapnya sebagai manusia paling jujur untuk
bertanya tentang kebenaran berita tersebut. Yudistira terpaksa bersikap tidak
jujur. Ia membenarkan berita kematian Aswatama tanpa berusaha menjelaskan bahwa
yang mati adalah gajah, bukan putera Drona.
Jawaban Yudistira itu membuat Drona jatuh lemas. Ia
membuang semua senjatanya dan duduk bermeditasi. Tiba-tiba saja Drestadyumnaputera Drupada mendatanginya dan kemudian memenggal kepalanya
dari belakang. Drona pun tewas seketika. Dalam peristiwa ini yang paling merasa
bersalah adalah Yudistira.
Pertempuran melawan Salya
Salya adalah kakak ipar Pandu yang terpaksa membantu Korawa karena tipu daya mereka. Pada hari
ke-18, ia diangkat sebagai panglima oleh Duryodana. Akhirnya ia pun tewas terkena tombak
Yudistira.
Naskah Bharatayuddha berbahasa Jawa Kuno mengisahkan bahwa Salya memakai senjata bernama Rudrarohastra,
sedangkan Yudistira memakai senjata bernama Kalimahosaddha. Pusaka Yudistira yang berupa kitab
itu dilemparkannya dan tiba-tiba berubah menjadi tombak menembus dada Salya.
Sementara itu menurut versi pewayangan Jawa, Salya mengerahkan ilmu Candabirawa
berupa raksasa kerdil mengerikan, yang jika dilukai
jumlahnya justru bertambah banyak. Puntadewa maju mengheningkan cipta.
Candabirawa lumpuh seketika karena Puntadewa telah dirasuki arwah Resi Bagaspati, yaitu pemilik asli ilmu tersebut. Selanjutnya,
Puntadewa melepaskan Jamus Kalimasada yang melesat menghantam dada Salya.
Salya pun tewas seketika.
Tantangan bagi Duryodana
Setelah kehabisan pasukan, Duryodhana bersembunyi di dasar telaga. Kelima Pandawa didampingi Kresna berhasil menemukan tempat itu.
Duryodana pun naik ke darat siap menghadapi kelima Pandawa sekaligus. Yudistira
menolak tantangan Duryodhana karena Pandawa pantang berbuat pengecut dengan
cara main keroyok, sebagaimana para Korawa ketika membunuh Abimanyu pada hari ke-13. Sebaliknya, Duryodana
dipersilakan bertarung satu lawan satu melawan salah seorang di antara lima Pandawa.
Apabila ia kalah, maka kerajaan harus dikembalikan kepada Pandawa. Sebaliknya
apabila ia menang, Yudistira bersedia kembali hidup di hutan.
Bima terkejut mendengar keputusan Yudistira
yang seolah-olah memberi kesempatan Duryodana untuk berkuasa lagi, padahal
kemenangan Pandawa tinggal selangkah saja. Dalam hal ini Yudistira justru
menyalahkan Bima yang dianggap kurang percaya diri. Duryodana meskipun bersifat
angkara murka namun ia juga seorang pemberani. Ia memilih Bima sebagai lawan
perang tanding, yang paling gagah di antara kelima Pandawa. Setelah pertarungan
sengit terjadi cukup lama, akhirnya menjelang senja Duryodana berhasil
dikalahkan dengan dipukul titik kelemahannya, yaitu paha. Ini sekaligus
menuntaskan sumpah Bima yang akan membunuh Duryodana karena penghinaannya
terhadap Dropadi. Balarama marah dan bertekad untuk membunuh Bima karena paha
merupakan sasaran yang terlarang dalam duel gada, namun diperingatkan oleh
Kresna bahwa Bima hanya berusaha menjalankan sumpahnya. Duryodana pun tewas
secara perlahan setelah saling bersilat lidah dengan Kresna.
Maharaja dunia
Setelah perang berakhir, Yudistira melaksanakan upacara
Tarpana untuk memuliakan mereka yang telah tewas. Ia kemudian diangkat sebagai
raja Hastinapura sekaligus raja Indraprastha. Yudistira dengan sabar menerima Dretarastra sebagai raja sepuh di kota Hastinapura. Ia melarang
adik-adiknya bersikap kasar dan menyinggung perasaan ayah para Korawa tersebut, namun Bima selalu saja
menyinggungDretarastra akan perbuatan anak-anaknya sehingga
sang raja sepuh pun lengser dari tahta Hastinapura.
Yudistira kemudian menyelenggarakan Aswamedha Yadnya, yaitu suatu upacara pengorbanan untuk
menegakkan kembali aturan dharma di seluruh dunia. Pada upacara ini,
seekor kuda dilepas untuk mengembara selama
setahun. Arjuna ditugasi memimpin pasukan untuk
mengikuti dan mengawal kuda tersebut. Para raja yang wilayah negaranya dilalui
oleh kuda tersebut harus memilih untuk mengikuti aturan Yudistira atau
diperangi. Arjuna mengirim pasukan ke daerah utara, Bima ke timur, Nakula ke
barat & Sahadewa ke selatan.
Akhirnya setelah beberapa pertempuran, semua kerajaan
memilih membayar upeti. Sekali lagi Yudistira pun dinobatkan sebagai Maharaja
Dunia setelah Upacara Rajasuya dahulu.
Lengser lalu
naik ke sorga
Setelah permulaan zaman Kaliyuga dan wafatnya Kresna, Yudistira dan keempat adiknya
mengundurkan diri dari urusan duniawi. Mereka meninggalkan tahta kerajaan,
harta, dan sifat keterikatan untuk melakukan perjalanan terakhir, mengelilingi Bharatawarsha lalu menuju puncak Himalaya. Di kaki gunung Himalaya, Yudistira
menemukan anjing dan kemudian hewan tersebut menjdi pendamping perjalanan
Pandawa yang setia. Saat mendaki puncak, satu per satu mulai dariDropadi, Sadewa, Nakula, Arjuna, dan Bima meninggal dunia. Masing-masing terseret
oleh kesalahan dan dosa yang pernah mereka perbuat. Hanya Yudistira dan
anjingnya yang berhasil mencapai puncak gunung, karena kesucian hatinya.
Dewa Indra, pemimpin masyarakat kahyangan, datang
menjemput Yudistira untuk diajak naik ke swarga dengan kereta kencananya. Namun, Indra
menolak anjing yang dibawa Yudistira dengan alasan bahwa hewan tersebut tidak
suci dan tidak layak untuk masuk swarga. Yudistira menolak masuk swargaloka
apabila harus berpisah dengan anjingnya. Indra merasa heran karena Yudistira
tega meninggalkan saudara-saudaranya dan Dropadi tanpa mengadakan upacara
pembakaran jenazah bagi mereka, namun lebih memilih untuk tidak mau meninggalkan
seekor anjing. Yudistira menjawab bahwa bukan dirinya yang meninggalkan mereka,
tapi merekalah yang meninggalkan dirinya.
Kesetiaan Yudistira telah teruji. Anjingnya pun kembali
ke wujud asli yaitu Dewa Dharma, Ayahnya. Bersama-sama mereka naik ke
sorga menggunakan kereta Indra. Namun ternyata keempat Pandawa tidak ditemukan
di sana. Yang ada justru Duryodana dan adik-adiknya yang selama hidup
mengumbar angkara murka. Indra menjelaskan bahwa keempat Pandawa dan para
pahlawan lainnya sedang menjalani penyiksaan di neraka. Yudistira menyatakan siap masuk
neraka menemani mereka. Namun, ketika terpampang pemandangan neraka yang
disertai suara menyayat hati dan dihiasi darah kental membuatnya ngeri. Saat
tergoda untuk kabur dari neraka, Yudistira berhasil menguasai diri. Terdengar
suara saudara-saudaranya memanggil-manggil. Yudistira memutuskan untuk tinggal
di neraka. Ia merasa lebih baik hidup tersiksa bersama sudara-saudaranya yang
baik hati daripada bergembira di sorga namun ditemani oleh kerabat yang jahat.
Tiba-tiba pemandangan berubah menjadi indah. Dewa Indra muncul dan berkata
bahwa sekali lagi Yudistira lulus ujian, karena waktunya yang sebentar di
Neraka adalah sebagai penebus dosa ketidakjujuran Yudistira terhadap Drona soal
kematian Aswatama. Ia menyatakan bahwa sejak saat itu, Pandawa Lima dan para
pahlawan lainnya dinyatakan sebagai penghuni Surga, sementara para korawa akan
menjalani siksaan yang kekal di neraka.
Menurut versi pewayangan Jawa, kematian para Pandawa terjadi bersamaan dengan Kresna ketika mereka bermeditasi di dalam Candi Sekar. Namun, versi ini kurang begitu populer karena banyak dalang yang lebih suka mementaskan versi Mahabharata yang penuh dramatisasi sebagaimana
dikisahkan di atas.
sumber: http://id.wikipedia.org/wiki/Yudistira
sumber: http://id.wikipedia.org/wiki/Yudistira
Tidak ada komentar:
Posting Komentar